Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Sunday, October 8, 2017

Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

Untuk memahami lebih jauh tentang dunia, tentang jagad raya, tentang kosmis dan segala keruwetannya. Emanansi dalam pandangan filsafat islam baik untuk dibaca. Sinau filsafat sedikit menggoreskan tinta untuk pembaca semua. selamat membaca.

Emanasi-Filsafat-Islam
Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

           Pengertian Emanasi

Secara etimologis emanasi mempunyai arti sesuatu yang mengalir (memancar).
Emanasi menurut Ibnu Sina
Teori Ibnu Sina mengenai emanasi bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomic dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya.

Doktrin Ibnu Sina tentang Wujud 

Sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi yang pertama itu tidak mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.

Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan didunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu :
  1. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
  2. Lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya.

Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta jiwa langit dan planet-planetnya.

Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.

Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang mengingini.

Karena itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.



Sumber :
Syarif M.M. 1993. Para Filosof Muslim. Mizan. Bandung
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Erlangga, Jakarta, 2006.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Utsman Najati Muhammad, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Read more

Wednesday, October 4, 2017

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM - SINAU FILSAFAT

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
        Sesudah pemerintahan Abdurrahman II, kekuasaan pemerintahan Dinasti Umayah di Andalusia silih berganti. Andalusia dalam masa 45 tahun sejak masa penaklukannya (711-756 M) dipegang oleh 24 orang gubernur dependen, sehingga rata-rata masa pemerintahannya adalah kurang dari dua tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan Andalusia masa itu masih dalam kegoncangan dan kekacauan. Selama itu, Andalusia terjadi peralihan dari pemerintahan bangsa Goth kepada Bani Umayyah (al-‘Ibadi, 1964:49). Namun, hal itu dapat diatasi oleh al-Dakhil ketika ia berhasil memasuki Andalusia, dan dengan peralihan siasatnya ia dapat mendirikan Bani Umayyah II serta mengatasi konflik dan menyatukan masyarakat Andalusia dibawah kekuasaannya (Lapidus, 1989:380). Setiap pemberontakan dan kerusuhan yang terjadi selalu dapat diatasi oleh Dakhil, seperti menghadapi perlawanan dari al-Fihri, terjadi dua kali di Cordova: pemberontakan Hisham al-Fihri di Toledo dan ancaman-ancaman dari luar, Bani Abbas dan Charmelenge terhadap Andalusia. Semuanya itu dapat digagalkan dan diamankan oleh al-Dakhil (Hitti, 1974:507).
        Selama delapan abad, islam berjaya di bumi Eropa (Andalusia), maka pada saatnya Islam yang pernah membangun peradaban yang cukup gemilang itu harus runtuh dan tersungkur di tanah Eropa. Peradaban Islam yang telah dibangun dengan susah payah dan  kerja keras kaum muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum muslim sendiri, dan karena kegigihan bangsa barat/Eropa untuk merebut dan meruntuhkan peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
        Pengaruh geografis Andalusia yang terpisah oleh  pegunungan dan sungai-sungai dengan masyarakatnya yang heterogen, tidak memungkinkan sistem pemerintahan sentralisasi yang dibangun oleh Abdurrahman II, maka, digantilah dengan sistem disentralisasi, tetapi ternyata menimbulkan disintegrasi politik. Tiga orang amir, Muhammad ibn Abdurrahman, al-Mundzir, dan Abdullah tidak mampu membendung timbulnya kerajaan-kerajaan kecil. Diantara kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan Bani Hujjah di Seville dari suku Arab Yamani, Kerajaan Zu-al nun di Toledo (kemudian hari saat masa kemunduran Bani Umayyah), suku Berber, selatan portugal dan orang-orang spanyol turunan menguasai wilayah Algarave. Penduduk dataran tinggi Elvira di Granada dan penduduk Murcia, serta Kristen di Toledo melepaskan diri dari Amir Abdullah dan beberapa provinsi lainnya dalam wilayah Andalusia menyatakan kemerdekaannya dan tidak lagi mengirim hasil pendapatan daerahnya kepada pemerintah pusat. Amir Abdullah hingga akhir masanya tidak mampu sama sekali menghadapi dan mengatasi krisis yang menimpa Andalusia pada masanya hingga ia meninggal pada 912 M.
        Perlu dicatat, bahwa munculnya Umar Ibn Hafsun yang berasal dari pegunungan Bobastra (tepatnya di Bukit Tolox yang terletak diantara Medina dan Sodonia) dibagian selatan Andalusia. Ia hidup dalam berbagai cara dan tidak konsisten. Riwayatnya dimulai dengan mencuri kambing, maka Hafsun usir anaknya ke Tangier. Setelah ayahnya mati, Umar kembali ke Tolox dan membina kekuatan dengan jumlah sebanyak 40 orang, menjadi ancaman serius bagi empat amir: Muhammad, Mundzir, Abdullah dan al-Nashir. Semasa Abdullah, Umar secara defato menjadi penguasa Andalusia (Rahman, 1975:100-101). Hal ini dapat diatasi Abdurrahman III dikarenakan Umar sudah berusia lanjut. Disamping itu, dan dengan keperkasaanya Abdurrahman mampu mengkonsolidasikan kembali wilayah kekuasaan Umayyah yang sudah hampir musnah, maka selama 20 tahun, awal pemerintahannya semua wilayah Andalusia sudah dapat dikuasainya kembali. Berkat bantuan pasukan Slav yang kuat, sehingga segenap penjuru perbatasan dapat diamankan, dan dengan stabilitas negara yang cukup baik, juga karena khalifah Abbasiah sudah lemah, sementara kekhalifahan Fatimiah di Afrika bersaing kuat--mendorong Abdurrahman III (929 M) menyatakan dirinya sebagai khalifah dengan gelar Amir al-Mu’minin yang telah berhasil menyelamatkan Andalusia sebagai wilayah kekuasaan Umayyah dan menjadikan negeri itu sebagai pusat peradaban Eropa, salah satu pusat peradaban terbesar di dunia. Seperti Konstantinopel dan Baghdad – sehingga Cordova dijuluki sebagai mutiara dunia. Seperti telah diuraikan, bahwa dalam kegiatan ilmiah Andalusia paling jaya semasa Hakam II, namun ia tidak tinggalkan generasi yang mampu dan kuat, menyebabkan setelah ia wafat dan terutama pasca Hajib al-Mansur, Andalusia masuk pada masa kemunduran.
        Hisham ibn Hakam II, masih berusia 12 tahun merupakan orang yang paling berhak mewarisi kekhalifahan ayahnya. Hal ini menyebabkan timbulnya perselisihan di kalangan pejabat tinggi Negara dan orang istana, hingga terpecah menjadi dua kelompok; kelompok militer yang didominasi oleh orang Slav dan orang sipil dengan tokohnya al-Hajib al-Mansur yang didukung oleh menterinya. Sementara pihak militer memandang, Hisham tidak mungkin memimpin dan mengatur Negara karena militer tidak mungkin tunduk dibawah kekuasaannya yang belum dewasa. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa kekhalifahan sebaiknya diserahkan kepada pamannya Hisham, al-Mughirah ibn Abdurrahman al-Nashir. Sementara kelompok sipil mengharapkan kekhalifahan dipegang oleh Hisyam, agar kendali pemerintahan tetap dipegang oleh para penguasa bersama Khalifah Hisham yang kecil itu. Dalam pertentangan kedua kelompok itu, al-Mughirah terbunuh. Diduga kuat, pembunuh itu di dalangi oleh Muhammad ibn Abdullah ibn Amir al-Ma’arifi karena ia telah berhasil merebut jabatan al-Hajib dengan gelar al-Manshur disamping Khalifah Hisham II. Dengan demikian, pihak militer tidak berhasil mengangkat khalifah sesuai keinginannya. Al-Manshur berkuasa (976-1002 M) semasa khalifah Hisham II dan pada masa berikutnya yang menduduki jabatan khalifah adalah anaknya meskipun kekuasaan khalifah seperti boneka al-Manshur dan Sya’roni.
        Pada 609H/1212 M kaum nasrani mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat menghimpun bantuan sukarelawan persekutuan yang terdiri dari orang-orang Prancis, Jerman, Inggris dan Itali. Serangan tersebut dihadapi oleh khalifah al-Mansur Billah bersama 600.000 tentara di Las Navas de Toloso sekitar 70 mil disebelah timur Cordova. Saat itu pasukan nasrani dipimpin oleh Alfanso VIII, Raja Castile. Dalam peperangan tersebut tentara al-Muwahhidun mengalami kekalahan besar bahkan menyebabkan berakhirnya kekuasaan di Spanyol. Oleh karena itu, satu persatu kekuasaan islam di Spanyol jatuh ke tangan nasrani.
        Militer muslim di Andalusia terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Arab (Himyar dan Mudhar), Berber (jumlahnya paling banyak), Mozarab(orang Andalusia asli berbudaya Arab, Mujedar (orang Arab berbudaya Andalusia), Slav, muslim Andalusia, dan suku-suku pribumi yang tidak masuk islam. Setiap kelompok tentara dari suku Arab merupakan tentara cadangan yang dapat ditugaskan pada saat dibutuhkan pemerintah pusat. Masing-masing kesatuan tentara diperbolehkan menggunakan dana dari  daerah pertaniannya masing-masing, sedangkan sisa dana keperluan militer diserahkan ke kas Negara. Kekuatan militer islam yang dimasuki suku-suku selain Arab, terutama keturunan orang Slav yang datang dari Eropa Timur, ditetapkan khusus sebagai tentara pegawai istana amir atau kholifah. Semasa al-Nashir jumlah mereka mencapai ribuan dan pada masa Hajib al-Mansur terjadi perubahan dalam pembentukan militer. Bidang kemiliteran sudah digabung, yaitu terdiri dari suku Arab dan Slav juga dari orang-orang yang berasal dari Berber Afrika Utara yang jumlahnya mayoritas dibanding suku lain. Hal ini karena suku Arab di Eropa diistimewakan dalam masyarakat Spanyol, maka banyak yang tidak tertarik lagi pada bidang militer.   
        Telah disebut, bahwa penyebab kemunduran dan kehancuran kekuasaan islam di Andalusia adalah masih adanya beberapa daerah yang belum dapat diduduki sepenuhnya waktu ekspansi islam  seperti daerah Galicia. Austria bahkan mengadakan hubungan damai dengan mengakui kekuasaan Bani Umayyah. Akhirnya daerah tersebut kemudian dijadikan benteng pertahanan, pelatihan, dan sekolah siasat yang dipersiapkan untuk perlawanan di kemudian hari, dan dari benteng tersebut dikomando upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan umat islam, bahkan sering menyerang saat ada kesempatan. Perlu diketahui bahwa saat Tariq dan Musa sedang giatnya menaklukan wilayah Andalusia adanya perintah dari Damaskus untuk segera pulang, menyebabkan mereka tidak berhasil menguasai daerah-daerah tersebut, yang terletak di barat laut Andalusia. Kawasan itu akhirnya menjadi pusat Kristen. Austria kemudian berkembang menjadi kerajaan Castile dan Aragon menjadi basis Kristen untuk menyerang kaum muslim dalam rangka mengembalikan daerah kekuasaannya. Unifikasi kerajaan tersebut secara permanen terbentuk pada 1469 M ketika terjadi perkawinan antara Ferdinand, raja Aragon dengan Isabella, raja dari Castile.
        Adapun sebab kemunduran dan kehancuran islam di Andalusia, yaitu para penguasa islam cukup puas dengan menerima upeti dan tidak melakukan islamisasi secara sempurna, bahkan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat kebiasaan kaum nasrani. Sementara kehadiran bangsa Arab menimbulkan rasa iri dan membangkitkan rasa kebangsaan bangsa Spanyol yang Kristen. Selain itu loyalitas militer islam sebagai tentara bayaran sangat diragukan, kedisiplinan mereka mengikuti perintah atasan disesuaikan dengan siapa yang membayar lebih tinggi, maka perpecahan umat islam sebagai anggota masyarakat atau sebagai penguasa tidak dapat dihindarkan. Pribumi Andalusia tidak sederajat dengan bangsa Arab, tetapi tetap diperlakukan sebagai ibad dan muwalladun sehingga dianggap merendahkan. Oleh karena itu, beragama islam tidak menjadi daya tarik bagi rakyat sebagai dasar pemersatu ideologi. Etnis-etnis non Arab sering menjadi perusak dan menggerogoti perdamaian, sehingga mempengaruhi terhadap kondisi perekonomian. Sementara pembangunan bidang fisik untuk keindahan kota dan peningkatan ilmu pengetahuan yang terlalu serius melalaikan  pembangunan bidang perekonomian yang menjadi pendukung persatuan dan kesatuan.
        Peralihan kekuasaan ynag tidak jelas, maka sering terjadi perebutan kekuasaan sesama ahli waris, yang melemahkan dan hilangnya wibawa pemerintah, bahkan mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan al-Muluk al-Tawaif muncul, tetapi tetap pula terjadi perebutan kekuasaan diantara mereka. Dinasti-dinasti yang muncul setelah runtuhnya Umayyah II terdiri dari dinasti yang merdeka dan saling bertikai. Penguasa muslim disana, jauh dari pusat islam lain mengakibatkan jauhnya dukungan, kecuali dari Afrika Utara dibatasi laut, sementara darah sekitar adalah daerah yang dikuasai kaum nasrani yang selalu iri dan merasa direndahkan oleh etnis Arab.
        Semasa dinasti Nasr Maula Ali Abi al-Hasan yang berkuasa di Granada merasa cemas dengan unifikasi kerajaan Castile dan Aragon. Akibatnya terjadi perang dingin dengan kaum nasrani. Dengan menghentikan pembayaran upeti terhadap Ferdinand disampaikan dengan ucapan yang sangat menyakitkan, seperti, “sesungguhnya para sultan Granada terdahulu yang membayar upeti itu sudah mati dan lembaga pencetakan uang di Granada tidak lagi mencetak uang, tetapi hanya memproduksi senjata,” bahkan setelah ucapan itu dilakukan disusul dengan serangan sporadic ke benteng al-Sakra yang sudah dikuasai oleh kaum nasrani. Serangan itu mendapat pukulan dari mereka dan salah satu dari panglimanya dapat menguasai bentengal-Hamrah, Granada yang akhirnya menjadi basis penyerangan selanjutnya. Al-Hasan sendiri wafat, diracun anaknya, Abdullah dan kekuasaan dipegang saudaranya, al-Zaghlul.
        Abu Abdullah yang tidak paham konspirasi kaum Kristen berusaha merintangi upaya pamannya, al-Zaghal yang berupaya mempertahankan Granada dan menyatukan kekuatan islam disekitarnya. Ketika itu, kaum nasrani semakin mendekati dan mengepung Granada sehingga satu persatu benteng Granada—Alora, Qosr Bonila, Ronda dan benteng Loja, Almeria, Malaga, dan kota-kota lain dibagian barat Granada—jatuh ketangan nasrani. Perlawanan pasukan al-Zaghal terhadap pasukan Ferdinand cukup kuat, sehingga kemenangan dan kekalahan silih berganti bagi masing-masing pihak. Namun ketika pasukan Ferdinand datang dengan kekuatan yang sangat besar maka al-Zaghal dengan sekuat tenaga melawan pasukan, yang akhirnya ia putus asa karena tidak memperoleh bantuan dari Afrika Utara karena disan ajuga terjadi perang saudara dan terpaksa menyerahkan diri di bentengnya yang terakhir di Almeria. Kemudian ia mengungsi ke Tillimsan, Maroko dan disana ia wafat. Sebelumnya, Abdullah yang terkenal dengan Boabdil ingin merebut kembali kekuasaannya dari tangan al-Zaghal, maka ia memohon bantuan dari Ferdinand dan Isabella dan berhasil merebut kekuasaan. Boabdil mendapat peringatan keras dari Ferdinand agar segera menyerah dengan berbagai persyaratan yang telah dipersiapkannya, tetapi Abdullah meminta tuntutan itu di tangguhkan. Ferdinand menolak dan segera menyerang agar segera dapat menguasai Granada dari arah Timur.
Abdullah maju ke medan tempur bersama panglima perangnya yang gagah berani. Ia menegaskan sikapnya yang pantang mundur kepada utusannya yang dikirim menghadap Ferdinand. Jika Ferdinand ingin mengambil senjata dari kaum muslim, silahkan datang sendiri untuk merebutnya dari tangan mereka. Pada tahun 1490 M, Ferdinand mengirim pasukannya untuk menghancurkan pasukan islam, tetapi Abdullah dan pasukannya langsung terjun ke medan pertempuran dengan gagah berani. Penduduk Granada pun datang membantu pasukan muslim sehingga kemenangan berada dipihak kaum muslim dan beberapa benteng dapat direbut kembali. Pada tahun 1491 M Ferdinand bersama Isabella melibatkan diri bersama 50.000 personil dengan mendengungkan perang suci. Ketika mendekati pintu gerbang Granada, panglima perang menegaskan kepada pengawal pintu bahwa kita akan menutup pintu dengan jasad kita bertempur untuk mempertahankan tanah yang kita injak masing-masing. Karena, jika tanah ini kita lepas akan kehilangan segalanya. Seruan ini membangkitkan semangat tempur pasukannya, sehingga Ferdinand mendapat kesulitan dalam mengalahkan pasukan kaum muslim. Tetapi, ia mengepung dan memblokade pasukan islam agar kelaparan. Apalagi di musim dingin yang penuh salju telah tiba, maka keadaan kaum muslim menjadi kritis. Boabdil menyerah atas desakan penduduk Granada yang kelaparan dan kedinginan. Sementara Panglima Musa menolak untuk menyerah dan terus bertempur melawan pasukan Ferdinand, dan akhirnya mati terbunuh. Abdullah bersama keluarga pindah ke Maroko dan tinggal di Fez. Granada  (2 Januari 1492 M) dapat dikuasai kaum nasrani dengan masuknya pasukan Castile. Denagn demikian , “salib dapat menyingkirkan bulan sabit.”
        Amir Ali mencatat, orang muslim yang menyinari bangsa Goth di Spanyol selama berabad-abad yang membawa kemajuan luar biasa, kini tenggelam dalam kegelapan setelah mereka mengusir islam secara total, bagikan angsa yang selama ini menelorkan emas, dibunuh, maka berhenti telor emas. Yang dimaksud adalah kejayaan, kemajuan peradaban, dan pembangunan moril maupun materi. Demikian juga sejarawan Spanyol, Conde, islam yang memberi status Eropa yang gelap menjadi maju, setelah islam lenyap dari kemajuan dan pencerahan tenggelam pula dalam kegelapan.  
BAB III
PENUTUP
Sebab-sebab yang melatarbelakangi  runtuhnya agama islam di Andalusia antara lain:
Ø  Pengaruh geografis Andalusia yang terpisah oleh pegunungan dan sungai-sungai dengan masyarakatnya yang heterogen.
Ø  Masih adanya beberapa daerah yang belum dapat diduduki sepenuhnya waktu ekspansi islam seperti daerah Galicia.
Ø  Adanya para penguasa islam yang cukup puas dengan menerima upeti dan tidak melakukan islamisasi secara sempurna, bahkan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat kebiasaan kaum nasrani.
Ø  Adnya peralihan kekuasaan yang tidak jelas, maka sering terjadi perebutan kekuasaan sesame ahli waris, yang dapat melemahkan dan menghilangkan wibawa pemerintah.
  
DAFTAR PUSTAKA
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Jogyakarta: Pustaka    Book   Publiser, 2007.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Jalil Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: C.V Pustaka Islamika, 2008.                                                    


Read more

Sunday, October 1, 2017

Filsafat Islam | Pengaruh Filsafat Muhammad Iqbal di Masa Kini | Sinau Filsafat

Pengaruh fisafat Iqbal yang paling signifikan adalah tentang sistem politik Negara Islam. Yang tidak terlepas dari cita-cita tentang keadilan sosial. Hal ini banyak mengisnpirasi para tokoh-tokoh seperti Sayyid ‘Ali Khamene’i, ‘Ali Syari’ati, dan Murtadha Muthahhari. Ketiga tokoh yang disebutkan merupakian para pelaku revolusi Iran yang menajdikan negara Iran sebagai Negara Islam.


Makalah-Filsafat-Islam


Akan dirangkumkan lima pokok pemikiran Muhammad Iqbal yang sampaikan sekarang masih menjadi rujukan para intelektul dari kalangan muslim dan non-muslim.


  1. Memandang sejarah sebagai gerakan progresif. Iqbal memulai argumentasinya dengan menunjukkan sifat teleologis (kebertujuan) alam semesta ciptaan Tuhan. Selanjutnya, dalam proses pergerakan menuju tujuan penciptaan itu, Iqbal menunjukkan sifat dinamis penciptaan itu sendiri. Iqbal melihat waktu sebagai sesuatu yang sakral sehingga ia mengutip sebuah hadist Qudsi yang melarang “mencaci waktu (dahr)” karena “waktu adalah Allah”
  2. Ijtihad sebagai sokoguru gerak Islam. Ijtihad merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengerahkan pemikiran-pemikiran dalam rangka menanggapi aksi Allah, menjawab tantanganNya yang terus menerus menambahkan ciptaan baru itu. Dengan ijtihad bukannya mengadung distorsi terhada ajaran Islam yang auntentik. Justru merupakan inti khilafah. Iqbal mnyebutnya kemitraan dengan Allah.
  3. Penegasan kembali konsep Alquran mengenai alam semesta empiris sebagai tanda-tanda (ayat) Allah. Kendatipun demikian, penghargaan al-Quran terhadap empiris sama sekali tak mengurangi penekanannya kepada rasio sebagai fakultas untuk mendapatkan kebenaran . 
  4. Intuisi sebagai kelanjutan rasio, meski pada tataran yang lebih tinggi. Lebih dari pada itu Iqbal menunjuk pada peran intelek (intuisi atau qalb/fu’ad) yang mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi. Berbeda dengan pemikir Muslim yang lain seperti Al-Ghazali yang terkadasng terkesan mempertentangkan rasio dengan intuisi.
  5. Menegaskan penekanan al-Quran kepada amal. Yakni, setelah segenap penghargaanya kepada alam empiris, rasio, dan intusisi, itu akhirnya keberadaan seseorang dinilai dari kualitas amalnya. Butir terak ini kiranya melengkapi sifat pemikiran Iqbal yang dalam segenap intelektualismenya yang terkadang amat liberal, dinamistik, dan aktivistik ( Khamenei, Syariati, 2002: vii-ix).


Read more

Perempuan dan Tasawuf - Sinau Filsafat

Apakah ada kajian tentang laki-laki? Pertanyaan ini muncul, ketika realita
menunjukkan bahwa sangat banyak sekali yang mengkaji seputar perempuan. Seakan-akan
dunia adalah milik laki-laki dan perempuan sebagai obyek yang diperbincangkan dan
berhak untuk dikuliti dari berbagai penjuru. Akan tetapi jika tidak mengangkat isu-isu
perempuan, realita menunjukkan perempuan sering mengalami penindasan.
 

Banyak pihak dengan beragam pendekatan berjuang untuk memposisikan perempuan pada tempatnya,
dan persoalan yang muncul apakah sama antara laki-laki dan perempuan? Ada yang berpendapat sama dan ada yang berpendapat berbeda. Pertanyaan lain muncul kenapa jika perempuan dan laki-laki berbeda, dan kenapa jika keduanya sama? Apakah jika berbeda harus dipertentangkan? Tulisan ini muncul dari kejenuhan melihat keduanya dipertentangkan dan  einginan untuk mencari sebuah warna

baru yang lebih ramah, dan menimalisir munculnya polemik yang baru. Dan melihat
kondisi perempuan yang dianggap "rendah" serta posisinya "di bawah laki-laki", terutama dalah hal spiritualitas maka tulisan ini menggunakan prespektif tasawuf.  Dimana tasawuf sangat dekat bahkan bertalian erat dengan perkara spiritualitas. Selain itu, tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang ramah terhadap segala perbedaan, karena tasawuf lebih menitikberatkan pada sisi esoteris, yang tidak melihat sisi luar dari seseorang, begitu pula dengan jenis kelaminnya. Tulisan ini menggunakan pendekatan filosofis, lebih
tepatnya menggunakan kacamata tasawuf.

Tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang terlepas dari sekat-sekat yang
ada, lebih ramah dengan berbagai perbedaan. Karena tasawuf tidak berbicara tentang
aspek fisik atau materi, akan tetapi lebih bahkan melampauinya. Berdasarkan pemahaman
tersebut, penulis mencoba melihat berbagai polemik yang dihadapi oleh perempuan
dengan menggunakan prespektif tasawuf. Berbeda dengan khasanah keilmuan Islam
lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu kalam, tasawuf menampilkan Tuhan dengan sangat ramah,
sisi feminin Tuhan lebih ditonjolkan, sehingga perempuan yang selalu dianggap sangat kental sisi femininnya memiliki kedudukan karena ternyata Tuhan juga memiliki sisi
feminin. Sedang kedua keilmuan di atas lebih menunjukkan sisi maskulin Tuhan, dan
kedua keilmuan tersebut banyak diminati orang sehingga Islam terkesan sangat kasar
terhadap perempuan.
Anggapan bahwa perempuan memiliki spiritualitas yang rendah tidaklah beralasan,
karena sifat feminin yang dimilikinyalah sebenarnya yang memudahkannya berhubungan
dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya tasawuf tidak mengunggulkan jenis kelamin
seseorang yang lebih dilihat bagaimana kedudukannya di hadapan Tuhan. Dalam prespektif
tasawuf perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan untuk dipertentangkan karena
keduanya saling melengkapi, jika mempertentangkan keduanya, semua yang terkait dengan
relasi keduanya tidak akan berakhir. Perempuan dengan kecenderungan femininnya dan
laki-laki dengan maskulinnya, jika keduanya disatukan mengeejawantahkan diri Tuhan,
karena Tuhan memiliki sisi feminin maupun maskulin.

Read more

Saturday, September 30, 2017

Epistemologi Abid Al Jabiri - Filsafat Islam

Sinau Filsafat - Kali ini akan membahas tentang Epistemologi dari filsuf Muhammad Abid Al-Jabiri. Sekilas biografi nama lengkap Muhammad Abid al Jabiri lahir di maroko, ia dosen filsafat dan pemikiran isalam di fakultas sastra, Universitas Muhamad V, Rabat, Maroko. Ia juga seorang yang menggemari pemikiran Karl Marx. Meskipun ia membatasi diri hanya pada Islam - Arab ia membangun metodologi sendiri. ia juga termasuk pemiki kaum strukturalis, postrukturalis, dan posmodernis.


Baca : Manusia dalam Perpekstif Islam

Epostemologi Abid Al Jabiri
Epistemologi Abid al jabiri dibagi menjadi 3 kerangka yaitu ; Bayani, Irfani, dan Burhani. Mari kita sedikit ulas 3 hal tersebut.

  1. Bayani, adalah metode berfikir yang mempunyai ciri khas arab-islam, mengutamakan teks secara langsung dan tidak langsung, serta melalui pembenaran oleh pemikiran bahasa yang diacu melalui literasi/ buku pustaka yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Ushul dan furu', ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu', menurut jabir ushul di sini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti al-quran, ijma', sunnah, dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal dari proses pengalian pengetahuan. Peranan dan hubungan ushul dengan furu' mencakup sebagai sumber pengetahuan, sebagai sandaran bagi pengetahuan lain, dan sebagai pangkal proses pembentukan. Menurut Jabir, lafadz makna mengandung dua aspek yaitu; Teori dan Praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan. Pertama, tentang makna suatu kata. Kedua, tentang analogi bahasa. Ketiga, tentang pemaknaan al asma asy-syar'iah, seperti kata zakat, sholat, puasa, dan lain sebagainya. Untuk cara jabir memperoleh pengetahuan ada dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika.
  2. Irfani, adalah pengetahuan yang didasarkan pada tersingkapnya rahasia-rahasia realita oleh Tuhan, diperoleh dengan olah nurani. Irfan dibagi menjadi 3 tahapan; Persiapan, Pengungkapan, dan Penerimaan. Tahap Persiapan memiliki 7 tahapan; Tobat, Wara, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakkal, dan Ridha. Beberapa pengkaji masalh irfani atau mistik membagi pengetahuan ini dalam beberapa tingkatan; Pertama, pengetahuan tak terkatakan. Kedua, Pengetahuan irfan atau mistisisme. Ketiga, Pengetahuan metasisisme yang terbagi menjadi dua; pertama, 1 orang ketiga masih dalam tradisi yang bersangkutan, kedua 2 orang ketiga dari tradisi yang berbeda.
  3. Burhani, adalah pengetahuan yang di landaskan atas rasio/akal. Menurut Jabir, rasio memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra, yang dikenal dengan istilah tassawur dan tasdiq. Burhani menggunakan aturan silogisme, tidak murni rasio tapi juga didasari atas rasio objek-objek eksternal. Silogisme dalam burhani terbagi menjadi 3 tahapan; Tahapan pengertian, tahapan pernyataan, dan tahapan Penalaran.
Baca Juga : Makalah Filsafat Islam Muhammad Iqbal

Dari ketiga hal yang sudah dijelaskan diatas, perbedaannya ialah; epistemologi bayani menghasilkan pengetahuan melalui analogi non fisik kepada yang asal, Epistemologi Irfani menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan Universal, sedangkan Epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika berdasarkan atas pengetahuan sebelumnya yang sudah diyakini kebenarannya. Kesimpulannya pengetahuan atas hikmah yang didapat tidak dihasilkan oleh kekuatan rasio saja, namun juga melalui proses pencerahan rohani dan semua itu dengan memakai argumen rasional.

Note : Bayani = Teks Suci, Irfani = Intuisi, Burhani = Rasio
Read more

Thursday, September 28, 2017

Makalah Filsafat Islam Muhammad Iqbal - Sinau Filsafat

BAB I
PENDAHULUAN


muhammad-iqbal-filsafat-islam


A. Latar Belakang
Filsafat Islam tumbuh begitu pesat dibagian Timur tepatnya didaerah semenanjung Arab. Pertumbuhan mencapai puncaknya dimasa kekhalifaan Abbasyiah. Perkembangan itu tidak terlepas dari usaha para kaum cendekiawan untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani, Mesir dan Persia. Selain itu dialog langsung yang dilakukan oleh orang muslim dengan orang non muslim dengan harapan adanya pertemuan budaya yang saling berbeda, menjadi faktor selanjutnya.
Filsafat Islam banyak dipengaruhi aliran-aliran teologi yang timbul oleh proses politik pada saat itu. Dalam teologi Islam terdapat beberapa aliran besar yaitu Khawarij, Murjiah, Mu’tazillah, As-syariah, Al-Maturuddi (Samarkand dan Bukharah). Aliran teologi yang disebutkan diawal menekan empat hal mendasar yang menjadi pembahasannya, mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan kewajiban mengetahui baik dan buruk. Perbedaan dari aliran teologi adalah peranan antara akal dan wahyu dalam mengetahui keempat hal mendasar tadi yang telah disebutkan. Sebagian besar para filsuf Islam berkiblat pada aliran teologi Mu’tazilah yang banyak memberikan peranan pada akal. Dapat diberikan contoh filsuf Islam yang berlandaskan pada As-syariah yaitu Al-Ghazali. Namun perlu diketahui dalam pembahasan filsafat Islam ada tiga hal yang sangat ditekankan yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam.
Setelah perkembangan ilmu dan kebudayaan manusia yang begitu pesat yang menembus batas ruang dan waktu. Lahirlah filsuf-filsuf baru bukan hanya didaerah Timur Tengah. Di India pada saat itu sebelum menjadi Pakistan sekarang ini lahirlah seorang filsuf yang bernama Muhammad Iqbal. Pengaruhnya sangat besar dalam dunia Islam, kekhasan pemikirannya dapat ditangkap melalui puisi-pusinya yang menggetarkan hati dan menimbulkan tanya pada pikiran. Untuk penjelasan yang lebih lanjut akan dijelaskan dalam materi makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diuraikan terkait dengan filsuf Muhammad Iqbal yaitu;
1. Bagaimana sejarah kehidupan Muhammad Iqbal?
2. Apa yang dibahas Muhammad Iqbal dalam filsafatnya?
3. Bagaimana pengaruh filsafat Muhammad Iqbal hingga masa kini?

C. Tujuan 
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yang mengangkat filsafat Islam modern kontemporer Muhammad Iqbal yaitu;
1. Memperkenalkan Muhammad Iqbal kepada mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Filsafat Islam Modern Kontemporer.
2. Mengetahui pembahasan yang menjadi tema sentral dari filsafat Muhammad Iqbal.
3. Pengaruh filsafat Muhammad Iqbal dalm dunia Islam hingga saat ini.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kehidupan Muhammad Iqbal

Kelahiran Muhammad Iqbal masih menjadi perdebatan terdapat perbedaan dalam menentukan waktu kelahirannya. Muhammad Iqbal adalah seorang pujangga Islam yang terlahir di Sialkat (Punjab) sebuah kota industri, pada 9 November 1877, sekarang berada di wilayah Pakistan. Iqbal adalah keturunan Brahmana dari subkasta Sapru yang leluhurnya berasal dari Kashmir, yang sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19 pindah ke Sialkot.
Iqbal meninggal dunia pada usia 61 tahun. Selama hidupnya ia banyak mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu. Ada dua orang yang sangat berpengaruh dalam hidup Muhammad Iqbal yaitu Maulana Mir Hasan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syam al-Maulana, Matahari Para Ulama dan Prof. Thomas Arnolod.
Dimasa belia Muhammad Iqbal banyak dibimbing oleh Maulana Mir Hasan di Scootish Mission School Sialkot. Muhamamd Iqbal diberikan pelajaran tentang agama, bahasa Arab dan Persia. Karena melihat kelebihan Muhammad Iqbal dalam menggubah sajak-sajak kedalam bahasa Urdu Mir Hasan terus mendorong pada kelebihannya tersebut.
Setelah mendapatkan pelajaran agama dari seorang ulama yang ternama pada saat itu Muhamamd Iqbal malanjutkan studinya di Lahore. Di Lahore dia mendapat bimbingan langsung dari Prof. Thomas Arnold. Atas desakan dari Thomas Arnold, Muhammad Iqbal meneruskan studinya ke Universitas Cambridge, London. Kemudian Muhammad Iqbal memperdalam filsafat dibawah bimbingan McTaggart. Iqbal menulis tersis doktoralnya di Universitas Muinich Jerman dengan judul The Development of Metaphysics In Persia pada 1907 dbawah bimbingan Prof. F. Hammel.
Adapun karya yang dituliskan oleh Muhammad Iqbal diantaranya: The Development of Metaphysics In Persia;Bang-I-Dara; Asrar-I-Khudi; Rumuz-I-Bekhudi; dan the reconstruction of muslim Jurispudence (tak terselesaikan).

B. Pokok pembahasan dalam filsafat Muhammad Iqbal

Keseluruhan filsafat Iqbal pada hakikatnya adalah suatu pencarian yang dapat dikatakan: Pencarian manusia. Kemanusiaan adalah tujuan menuju terciptanya suatu ras ideal individu, akan tetapi datangnya Manusia Unggul tidak akan mungkin hingga melampaui proses yang mencakup tiga tahap yang dapat dibedakan;
1. Ketaatan pada hukum
2. Penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk kesadaran diri tentang pribadi
3. Kekhalifaan Ilahi (Widyastini, 2008:136).
 Iqbal juga dikenal sebagai filosof praktis: filsafatnya tidak menyodorkan suatu cita niskala yang tidak dapat dipikirkan perwujudannya (Widyastini, 2008:136).
Pemikiran filsafat Iqbal dikenal istiah Naib atau Manusia Unggul. Naib merupakan tingkatan ego yang paling sempurna, puncak kehidupan mental atau fisik, dalam dirinya ketidakselarasan kehidupan mental kita menjadi keharmonisan. Kemampuan tertinggi bersatu dalam dirinya menjadi pengetahuan tertinggi. Ada penyatuan antara pikiran dan perbuatan, naluri dan akal menjadi satu. Ia adalah penguasa umat manusia. Kerajaannya adalah kerajaan Tuhan dimuka bumi (Widyastini, 2008:136).
Sejalan dengan Manusia Unggul ada pula konsep Manusia Pelaku. Dipahami bahwa manusia bebas melakukan sesuatu terkait dengan lingkungan sosialnya. Menurut Iqbal, perubahan evolusioner yang lahir dari prinsip-prinsip Islam diperbarui dalam waktu yang panjang tentulah maenghasilkan perubahan revolusioner. Jalan itu menurut Iqbal mesti melahirkan situasi ideal yang menolak kapitalisme dan juga sosialisme tanpa agama (Maitre, 1985:36-37).
Sang Manusia Pelaku mempunyai peran dalam merubah lingkungan sosial maka mempunyai cita-cita utopia tentang keadilan sosial. Hal ini dibahas Muhammad Iqbal. Utopia sosial adalah suatu usaha mengabungkan kerja keras naluriah masyarkaat menurut dogma-dogma Islam yang diperbaharui(Widyastini, 2008:136). Cita-cita keadilan sosial Iqbal akan membawa kepada konsep negara Islam yang memuat cita-cita sosialisme.
Dalam pandangan Iqbal semangat filsafat adalah semangat penelahaan secara bebas. Segala macam ketentuan diragukannya. Tugasnya ialah mengikuti rekaan-rekaan pikiran manusia yang tidak kritits sampai ketempat-tempat yang masih tersembunyi, dan dalam pengusutan itu bisa juga akhirnya ia berkesudahan dengan menolak atau menerima secara hati terbuka kelemahan akal semata untuk sampai kepada kebenaran tertinggi. Inti sari agama ialah iman. Ia adalah sesuatu, semacam isi pengertian (cognitive content) (Iqbal, 2002: 4-5).
 Muhammad Iqbal tidak mempertentangkan antara akal dan intuisi. Menurutnya dalam menilai agama, filsafat mesti mengakui posisi agama yang asasi, dan tak ada alternatif lain dalam proses pemikiran yang sintesis, kecuali harus menerimanya sebagai sumber kekuatan. Keduanya tumbuh dari akar yang sama dan masing-masing saling melengkapi. Yang satu menangkap secara keseluruhan. Yang satu memusatkan perhatiannya pada aspek kekekalan, sementara yang lain kefanaan. Yang satu mendasarkan keseluruhan kebenaran itu dengan perlahan-lahan memasuki dan mendekati pelbagai macam bagian dari keseluruhan itu dengan maksud melakukan peninjauan semata. Keduanya saling membutuhkan untuk mengadakan peremajaan bersama. Keduanya mencari pandangan-pandangan kebenaran yang sama pula, dimana ia menjelma sesuai dengan tugasnya dalam hidup (Iqbal, 2002: 4-5).
Muhammad Iqbal menyinggung pula tentang filsafat keindahan. Filsafat ini erat kaitannya dengan Ego Tertinggi atau ego mutlak Tuhan. Kehidupan manusia dalam keegoannnya adalah perjuangan terus menerus menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya ego tertinggi. Karena rintangan yang terbesar adalah benda atau manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertenu dalam dirinya, misalnya daya indera, daya nalar dan lainnya yang membantunya nmenyesuaikan penghalang-penghalangnya. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (‘isyg), keberanian dan kreativitas yang merupakan esensi dari keteguhan pribadi. Keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak hasrat dan cinta ego dalam mencapai ego mutlak tersebut (Iqbal, 2002: 4-5).
Dengan demikian, keindahan tidak lain adalah hasil ciptaan ego. Keindahan adalah hasil ekspresinya, karena tenaga-hidup ego sendirilah yang mengekspresikan diri dalam perwujudan keindahan. Menurut Syarif, teori estetika Iqbal masuk dalam kategori kedua, objektif, karena bagi Iqbal, keindahan adalah kualitas benda (objek) yang diciptakan oleh ekspresi ‘ego-ego’ mereka sendiri. Untuk memperoleh keindahan, ego tidak berhutang pada jiwa penaggap, subjek, melainkan pada tenaga-kehidupannya sendiri (Soleh, 2004: 303).

Adakah menyakitkan seorang merdeka
Hidup dalam dunia ciptaan orang lain
Ia yang kehilangan daya cipta
Bagi-Ku tidak punya arti apa-apa
Selain pembangkang dan penyebal
Tak diperkenalkan ambil bagian dalam keindahan-Ku
Ia tak memetik sebijipun buah kurma kehidupan

Pahatlah lagi bingkaimu yang lama
Bangunlah wujud yang baru
Wujud seperti itu adalah wujud sebenarnya
Atau jika tidak demikian
Egomu hanyalah gumpalan asap belaka

Dalam pemikiran filsafat, gagasan Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa keindahan merupakan ekspresi ego-ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya (Soleh, 2004: 304).
Muhammad Iqbal membahas pula tentang seni. Ada dua aliran seni yang selama ini berkembang. Pertama, gerakan anti-fungsionalisme, yakni gerakan yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan diluar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri. Kedua, gerakan yang membedakan antara kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak mempunyai nilai estetik, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek artistik.
Iqbal menolak kedua model gerakan tersebut. Baginya, tanpa kandungan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari api yang telah padam. Sesuai dengan konsep-konsep tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal- harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia (penanggap). Jadi menurut pandangan Iqbal seni adalah ekspresi-diri sang seniman (Soleh, 2004: 306).

C. Pengaruh Filsafat Muhammad Iqbal di Masa Kini

Pengaruh fisafat Iqbal yang paling signifikan adalah tentang sistem politik Negara Islam. Yang tidak terlepas dari cita-cita tentang keadilan sosial. Hal ini banyak mengisnpirasi para tokoh-tokoh seperti Sayyid ‘Ali Khamene’i, ‘Ali Syari’ati, dan Murtadha Muthahhari. Ketiga tokoh yang disebutkan merupakian para pelaku revolusi Iran yang menajdikan negara Iran sebagai Negara Islam.

Akan dirangkumkan lima pokok pemikiran Muhammad Iqbal yang sampaikan sekarang masih menjadi rujukan para intelektul dari kalangan muslim dan non-muslim.
1. Memandang sejarah sebagai gerakan progresif. Iqbal memulai argumentasinya dengan menunjukkan sifat teleologis (kebertujuan) alam semesta ciptaan Tuhan. Selanjutnya, dalam proses pergerakan menuju tujuan penciptaan itu, Iqbal menunjukkan sifat dinamis penciptaan itu sendiri. Iqbal melihat waktu sebagai sesuatu yang sakral sehingga ia mengutip sebuah hadist Qudsi yang melarang “mencaci waktu (dahr)” karena “waktu adalah Allah”
2. Ijtihad sebagai sokoguru gerak Islam. Ijtihad merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengerahkan pemikiran-pemikiran dalam rangka menanggapi aksi Allah, menjawab tantanganNya yang terus menerus menambahkan ciptaan baru itu. Dengan ijtihad bukannya mengadung distorsi terhada ajaran Islam yang auntentik. Justru merupakan inti khilafah. Iqbal mnyebutnya kemitraan dengan Allah.
3. Penegasan kembali konsep Alquran mengenai alam semesta empiris sebagai tanda-tanda (ayat) Allah. Kendatipun demikian, penghargaan al-Quran terhadap empiris sama sekali tak mengurangi penekanannya kepada rasio sebagai fakultas untuk mendapatkan kebenaran .
4. Intuisi sebagai kelanjutan rasio, meski pada tataran yang lebih tinggi. Lebih dari pada itu Iqbal menunjuk pada peran intelek (intuisi atau qalb/fu’ad) yang mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi. Berbeda dengan pemikir Muslim yang lain seperti Al-Ghazali yang terkadasng terkesan mempertentangkan rasio dengan intuisi.
5. Menegaskan penekanan al-Quran kepada amal. Yakni, setelah segenap penghargaanya kepada alam empiris, rasio, dan intusisi, itu akhirnya keberadaan seseorang dinilai dari kualitas amalnya. Butir terak ini kiranya melengkapi sifat pemikiran Iqbal yang dalam segenap intelektualismenya yang terkadang amat liberal, dinamistik, dan aktivistik ( Khamenei, Syariati, 2002: vii-ix).

BAB III
KESIMPULAN

Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkat (Punjab) sebuah kota industri, pada 9 November 1877. Ia merupakan filsuf Islam yang berasal dari anak benua India sebelum akhirnya menjadi negara Pakistan.sepanjang hidupnya dia mendapatkan pendidikan yang baik. Ada dua orang yang paing berpengaruh dalam hidupnya yaitu; Maulana Mir Hasan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syam al-Maulana, Matahari Para Ulama dan Prof. Thomas Arnold. Mir Hasan memompakan ruh keagmaan dalam diri Iqbal. Lalu dari Prof. Thomas Arnold seupa dengan Mir Hasan sarjana inilah yang pertama kali memasukkan filsafat barat kedalam jiwa Iqbal. Dari Sir Thomas Arnold mendapat dorongan untuk melanjutkan studinya di Eropa.
Ada tiga hal pokok yang ingin disampikan Iqbal dalam filsafatnya yang bersifat praktis yaitu; Pertama, Manusia Unggul merupakan tingkatan ego yang paling sempurna, puncak kehidupan mental atau fisik, dalam dirinya ketidakselarasan kehidupan mental kita menjadi keharmonisan. Kedua, konsep Manusia Pelaku hal ini masih erat kaitannya dengan Manusia Unggul. Dimaksudkan bahwa manusia bebs melakukan perubahan dalam kehidupan sosialnya. Ketiga, tentang keadilan sosial yang perlu diwujudkan melalui pembentukan negara sesuai dengan nafas keIslaman.
Pengaruh Muhammad Iqbal sangatlah besar diseluruh dunia pandangannya banyak dilirik oleh intelktual muslim dan non-muslim. Ha ini dapat terlihat jelas dengan pengaruh filsafatnya pada para pelaku revolusi di Iran hingga terbentuknya negara Islam Iran, seperti ‘Ali Syariati tokoh Syiah.

DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, 2002, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Penerbit Jalasutra,
Yogyakarta
Sholeh, Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Widyastini, 2008, Filsafat Islam “Abad Tengah Modern Kontemporer”, Penerbit Kepel Press,
Yogyakarta

Read more

Sunday, September 24, 2017

Bukti Eksistensi Nafs (Jiwa)

Sinau Filsafat - Problematika ini begitu ramai dalam pemikiran filsafat secara umum, hingga kita melihat sebagian filosof dan ahli kalam menolak existensi jiwa secara total. Sebagian lain berkata: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kulihat dengan indra,” dan mereka adalah orang-orang beraliran materialisme yang menolak segala wujud selain jisim. Sebagian lainnya lagi berkata: “Sesungguhnya jiwa berupa bentuk seperti  bentuk-bentuk yang lain,” dan mereka semua menyerupai aliran yang meragukan dan menolak terhadap existensi jiwa. Ibn Sina menyebutkan dalam bukuRisalah Ma’rifah an-Nafs an-Nathiqoh wa Ahwaliha. Aliran materialis ini yang hanya mempercayai jisim, mereka berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimaksud oleh setiap orang dengan perkataan “aku”.  Ahlul ilmiitu berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dari kata ini (”aku”), yaitu badan yang bisa dilihat dan diraba ini, atau yang lain. Kebanyakan orang dan kebanyakan dari ahli kalam mengira bahwa manusia adalah badan ini. Setiap orang yang mengisyaratkan dengan perkataannya: “aku”, ini merupakan persangkaan yang salah.

eksistensi jiwaMaka Ibn Sina menyalahkan perkataan orang yang menolak atau mengingkari existensi jiwa. Beliau berpendapat dalam bukunya al-Isyarat: “Bahawasanya pemahaman manusia sendiri itu tidak memerlukan perantara atau bukti. Pemahaman manusia itu selamanya bukan dengan cara filling dari indra-indra kita atau penalaran-penalaran logis kita, akan tetapi pemahaman manusia itu berupa kesadaran secara langsung melalui intuisi. Kita juga mendapati Ibn Sina menegaskan dalam risalah tentang kekuatan-kekuatan jiwa (al-qawa an-nafsaniah), bahwasanya, “Barang siapa menandai sesuatu sebelum terbukti kematangannya, maka menurut orang-orang bijak ia digololongkan sebagai orang-orang yang menyimpang dari argumentasi yang jelas. Jadi, wajib bagi kita untuk menjadi orang yang bersih dalam menetapkan existensi kekuatan jiwa sebelum memulai memetakan dan menjelaskan bagian-bagian dari kekuatan jiwa tersebut.
Dengan demikian, Ibn Sina merupakan salah satu dari para filosof yang berpendapat bahwasanya existensi jiwa itu sangat jelas dimana tidak membutuhkan sebuah penetapan atau dalil. Akan tetapi yang membuat Ibn Sina menampilkan argumen-argumen yang menunjukkan terhadap existensi jiwa adalah, bahwasanya metode Ibn Sina menuntut agar seorang peneliti mengawali dengan menetapkan existensi jiwa sebelum berbicara tentang potensi serta karakternya, dan juga untuk menolak anggapan orang yang mengingkari existensi jiwa.
Ibn Hazm sebagai orang yang terakhir,  berkomitmen dengan metode yang sama, maka beliau pada awalnya menampilkan pendapat orang yang mengingkari existensi jiwa, dalam bukunya al-Fasl, semisal Abu Bakar bin Kisan al-Ashom atau orang yang menganggap bahwasanya jiwa merupakan bentuk (ard). Seperti al-’Alaf atau pendapat al-Baqilani bahwasanya jiwa adalah nafas, yang berarti hembusan nafas yang keluar masuk melalui pernapasan. Ibn Hazm menjelaskan pendapat-pendapat mereka yang salah, dan menerangkan bahwasanya perkataan al-’Ashom itu kontra dengan dalil ‘aql dan naql.
Adapun naql itu dari firman Allah swt: Qs. Al-An’am :93. Maka benar, bahwa jiwa itu ada, dan jiwa bukanlah jasad. Jiwa keluar dari badan tatkala mati.
Ibn Hazm meyakinkan akan existensi jiwa melalui nash syariat, kemudian beliau menambahkan dengan argumentasi logis (dalil ‘aqli). Beliau berkata: “Adapun dalil‘aqli, sesungguhnya kami melihat apabila seseorang ingin membersihkan akal dan membenarkan pendapatnya, atau memecahkan masalah yang rumit yang dibalik pikirannya dan mengkhususkan dirinya, serta memisahkan dirinya dari indra-indra jasadnya, dan secara total tidak menggunakan badannya dan terlepas dari badannya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya, dan tidak mendengar apa yang dikatakan didepannya, maka ketika itu pendapat dan pikirannya itu menjadi lebih bersih yang sebelumnya kotor. Adapun pikiran dan ingatan itu bukanlah untuk jasad yang menjauhinya tatkala menghendaki pikiran dan ingatan.
Kemudian Ibn Hazm memberikan argumentasi lain, bahwasanya yang dilihat oleh orang tatkala sedang tidur, itu benar-benar diluar kehendaknya. Itu hanya ketika jiwa meninggalkan jasad, dan tinggalah jasad seperti tubuh orang mati dan kebekuannya. Ketika itu, ia melihat dalam mimpi-mimpinya, mendengar, berbicara dan mengingat, dan menjadi tidak berfungsi aktifitas penglihatannya, aktifitas pendengaran jasmaninya, aktifitas penciuman badannya, dan aktifitas pengucapan fisiknya, maka pasti bahwasanya yang menggerakkan, yang melihat, yang mendengar, yang berbicara, yang merasa, itu adalah sesuatu selain jasad, maka tepatlah kalau ia dinamakan jiwa.
Kita juga menjumpai al-Ghazali mengambil dari dalil naqli sebagai hujjah untuk menunjukkan existensi jiwa. Beliau berkata, bahwasanya syariat itu selalu mengajak jiwa-jiwa dan memberitahukannya tentang siksa terhadap jiwa yang bersalah dan ganjaran bagi yang taat. Jelas sekali, bahwasanya badan itu bukanlah yang dimaksud dengan hukuman ini, namun ganjaran itu hanya ditujukan kepada jiwa. Ini saya tambahkan, bahwasanya ada bermacam-macam siksa yang khusus bagi jiwa, bukan yang lain. Oleh karena itu, apabila syariat itu berbicara tentang jiwa dan mengingatkannya dari kehinaan atau keburukan, dan menakut-nakutinya dengan siksa, itu merupakan sebuah bukti bahwasanya jiwa adalah jauhar yang ada tentunya. Al-Ghazali menyebutkan, yaitu dalam hal argumen ini: “Maka semua ajaran-ajaran syariat itu menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jauhar, dan sesungguhnya rasa sakit itu meskipun berada dalam badan, maka itu hanya untuk jiwa, kemudian jiwa itu mempunyai azab lain yang khusus atau hal itu seperti kehinaan, kesedihan, dan sakitnya perpisahan.
Dalil naqli ini sesuai dengan al-Ghazali, Ibn hazm, dan Ibn Qayim, yang berkata: “Sesungguhnya, dalil yang datang dari Al-Quran al-Karim, sunah, perkataan sahabat, dan mayoritas orang-orang berakal menunjukkan bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya, firman Allah ta’ala: Qs. An-Nur: 61, dan firman Allah ta’ala: Qs. An-Nahl: 111. Maka Ibn Qayim meyakinkan sebagai yang terakhir tentang wujud jiwa, dan sesungguhnya jiwa adalah zat manusia seperti yang dikabarkan oleh nash. Ibn Hazm tidak mengeritik tentang existensi jiwa, namun beliau menerima existensi jiwa sebagaimana yang dikabarkan oleh nash.
Sebagaimana yang engkau lihat, Ibn Mulka Abu al-Barakat al-Baghdadi berkata dalam hal ini: “Sesungguhnya manusia meskipun tidak perlu dalam menetapkan existensi jiwanya sendiri, namun dengan kemampuannya itu akan terealisir dari wujud ini apabila ia mengira-ngira atau menghayal bahwa indra dan akalnya itu disfungsi secara total. Maka sesungguhnya ia tidak akan meragukan bahwa wujudnya benar-benar ada melalui proses ini. Tidak ada satupun dari manusia merasa membutuhkan dalil dalam menetapkan wujud jiwanya. Siapa orang yang meragukan bahwa ia ada hingga merasa jelas dengan sebuah hujjah, maka ia merasa yakin dengan hal tersebut. Tidak ada bagi siapapun dari manusia yang lebih jelas dari pada itu, yang saya maksud adalah yang lebih jelas dari existensi zatnya. Manusia juga tidak perlu menjelaskan bagi dirinya sendiri, bahwa orang lain itu mempunyai jiwa atau zat atau jati diri.
Pengetahuan ini menurut Ibn al-Mulka dinamakan sebagai pengetahuan tanpa pembeda. Namun Ibn Mulka member komentar, bahwasanya hal paling penting yang membedakan pengetahuan ini adalah bahwasanya pengetahuan ini tersebut merambah pada semua pengetahuan-pengetahuannya.
Para filosof dan ahli kalam (mutakalim) itu mereka mulai menerima akan existensi jiwa, dan mereka tidak mengadu dalam existensi ini seperti yang dilakukan oleh yang lain. Maka dari itu, jiwa bagi mereka adalah yang exis, realistis, dan yang dapat diterima. Ini sejalan dengan aliran madzhab mereka secara umum. Mereka tidak meragukan pada awalnya, pada existensi jiwa seperti yang dilakukan oleh Dekart dan lainnya, akan tetapi mereka memulai dengan pemikiran dan keyakinan, yang itu merupakan aktifitas jiwa. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Lama kuberfikir dalam jiwa setelah keyakinanku, bahwasanya jiwa adalah pemilik pikiran ini.”
Dekart berkata: “Sekarang akan kubutakan mataku, kutulikan pendengaranku, dan akan aku non aktifkan semua indraku, bahkan kuhapus semua gambaran-gambaran jasmani dari khayalanku. Namun aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiranku atau terlepas dari memikirkan diriku.”
Ibn Hazm memulai dengan pikiran dan keyakinan yang itu merupakan karakter perbuatan jiwa, maka nyatalah existensi jiwa secara yakin… Dalam konteks ini, lebih dahulu menjadi seorang filosof yang besar pada era modren ini. Ibn Hazm berkata: “Apabila ia ingin membersihkan akalnya atau membenarkan pendapatnya atau memecahkan masalah yang sukar yang terlintas dalam pikirannya, dan membebaskan dirinya dari indra-indra jasadnya serta tidak memfungsikan jasadnya secara total, dan ia terbebas dari jasadnya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya dan tidak mendengar apa yang dikatakan dihadapannya, maka sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya pikiran dan pendapat bukanlah perbuatan tubuh yang tidak ada jiwanya ketika menghendaki kedua perbuatan tersebut, yaitu pikiran dan dzikir. Akan tetapi ia adalah perbuatan jiwa yang ada, dimana indra dan tubuh tidak memiliki pengaruh pada sesuatu yang kita sebutkan.”
Pendapat ini, pun dikatakan oleh Ibn Mulkan setelah ini: “Sesungguhnya engkau apabila menjauhi seorang manusia yang sedang menyendiri dengan jiwa(diri)nya dari semua yang dilihat, didengar, dan yang dipikirkan dari pikiran-pikiran, maka  perasaannya sendiri dengan jiwanya itu sudah ada dan yang mengelilinginya serta tidak pernah pergi darinya… Maka perasaan manusia dengan dirinya itu lebih dulu ada daripada perasaanya terhadap orang lain, dan pengetahuannya yang sempurna tentang jiwanya itu datang lebih akhir daripada pengetahuannya terhadap banyak hal. Maka Ibn Mulkan berpandangan, bahwa wujud manusia itu tidak memerlukan dalil aqli, karena wujudnya itu berupa perasaan yang jelas dan pasti serta tidak memerlukan argumentasi.”
Kita juga menemukan Ibn al-’Airi, dalam hal ini ia berkata: “Ada beberapa hal yang bisa diterima tentang hakekat wujud jiwa, dan wujud jiwa adalah sesuatu yang fitrah, yang tidak membutuhkan dalil. Akan tetapi dalil wujud jiwa tersebut jelas dari namaan-nafs. Sesungguhnya nama itu menunjukkan kepada yang dinamai, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles: “Apabila seorang manusia itu berakal, mengetahui, berfikir, memahami, dan manusia melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, dimana ia (manusia) apabila ditinggalkann oleh jiwa, maka semua perbuatan  tersebut tidak akan ada. Dari situ terlihat bahwasanya perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh jiwanya tadi.”
Artinya, sesungguhnya Ibn al-’Airi juga berpendapat, bahwasanya existensi jiwa itu jelas, pasti, dan fitrah, tidak membutuhkan kepada dalil. Ibn Bajah yang terakhir mengikuti pendapat ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa tergolong dari hal-hal yang dzohir, yang ada, dan mencari klarifikasi wujud jiwa itu seperti wujud karakter, dan orang yang melakukan hal itu tidak akan tahu perbedaan antara yang dikenal dengan jiwanya (ma’lum binafsihi) dan yang dikenal oleh selain jiwanya (ma’lum bighoirihi). Hanya saja, kami mendapatinya menyuguhkan argumentasi terhadap wujud jiwa sebagai jauhar, yang berbeda dengan jauharnya badan dengan argumentasi-argumentasi yang ia tentukan, yang disebutkan oleh Ibn Sina, walaupun Ibn Bajah tidak menyebutkannya secara transparan. Ibn Sina menyuguhkan banyak argumentasi2 untuk menetapkan wujud jiw, dan argumentasi tersebut itu menjelaskan perbedaan jiwa dengan badan. Prof. Ibrahim Madzkur berkata: “Sesungguhnya usaha(eksperimen) Ibn Sina itu bukanlah yang pertama dalam sejarah filsafat, hanya saja eksperimen Ibn Sina tersebut mempunyai kelebihan dari sebelumnya dengan lebih mencakup, detail, dan lebih mendalam.” Dalam hal itu Ibn  al-Airi berkata: “Kita telah melihat percobaan-percobaan (usaha-usaha) dalam menetapkan wujud jiwa, baik yang klasik maupun yang moderat, dan tidak kita sangka di antara usaha-usaha itu ada satu eksperimen yang mirip dengan argumentasi Ibn Sina dalam memahami jiwa dan macam-macamnya.”
Ibn Sina telah menyebutkan banyak argumen dalam menetapkan wujud jiwa, yaitu:
1.      Argumentasi natural psikologi
2.      Integrasi keakuan(ego) dan integrasi fenomena kejiwaan
3.      Argumentasi kontinuitas dan argumentasi seorang laki-laki yang terbang dan tergantung di langit
Ibn Bajah mengambil argumen-argumen ini sebagai pendapatnya untuk menetapkan wujud jiwa manusia, dan meskipun ia tidak menyebutkan bahwasanya yang tersebut adalah argumen Ibn Sina. Ibn Bajah berbicara tentang argumentasi alami(thobi’i), dan begitu juga argumentasi psikologi yang berbicara tentang keadaan-keadaan jiwa dan emosional-emosiaonalnya. Ibn bajah juga menyebutkan argumentasi kontinuitas yang menegaskan bahwasanya tubuh(jisim) adalah  yang berganti-ganti, berubah-ubah, dan mengalami kerusakan dan musnah. Adapun jiwa itu kekal dan tidak mengalami kerusakan. Begitu juga argumentasi tentang seorang laki-laki yang terbang itu ditampilkan oleh Ibn Bajah dalam gaya baru.
Beginilah kita bisa melihat bahwasanya menetapkan wujud jiwa itu termasuk permasalahan yang sangat penting yang di stimulasi(atsaar) oleh pemikiran filsafat. Meskipun banyak dari para filosof Islam menerima akan eksistensi jiwa secara wujud intuisi yang pasti dan jelas tanpa memerlukan argumen-argumen logis, hanya saja kita melihat sebagian orang menyebutkan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menetapkan eksistensi jiwa terhadap orang yang dihinggapi keraguan dalam eksistensi jiwa.
Dalam hal ini Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya kita melihat, orang yang rusak jasadnya dan kontruksinya, dan meskipun demikian ia mempunyai pikiran, logika yang kuat, tamyiz(kemampuan berfikir), berakal, dan bijaksana. Maka, ini merupakan bukti bahwasanya yang memahami sesuatu adalah yang bersifat efektif, bisa membedakan, dan hidup. Ia sesuatu selain tubuh, dan sesuatu itu adalah jiwa yang terus eksis.
Ibn Hazm di sini menjadikan pemahaman akal dan proses logika sebagai dalil terhadap eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sina sebelumnya, dan meskipun Ibn Sina telah memfokuskan dalam membedakan antara perbuatan-perbuatan manusia dan yang lainnya seperti macam-macam hewan. Sesungguhnya manusia adalah yang memahami makna-makna global yang bersih dari semua karakter indrawi.
Imam Ghazali juga mengambil argumentasi ini untuk menetapkan eksistensi jiwa.Sebagaimana beliau mengambil argumentasi kontinuitas, yaitu kontinuitas eksistensi jiwa meskipun keadaan-keadaan badan berubah-ubah. Al-Ghazali dalam hal ini berkata: “Sesungguhnya engkau mengetahui, bahwasanya jiwamu semenjak engkau dulu belum berubah-ubah, dan sudah diketahui bahwasanya badan dan semua sifat-sifatnya itu berubah-ubah. Karena apabila sifat-sifat badan itu tidak berubah-ubah, niscaya ia tidak akan mengonsumsi makanan, karena mengonsumsi makanan itu agar bisa menggantikan apa yang berubah dari badan. Jadi, jiwamu tidak ada kaitannya dengan badan dan sifat-sifatnya.” Argumen yang sama ini, itu telah dikatakan oleh Ibn Sina sebelum al-Ghazali.
Begitu juga Ibn Hazm menggunakan pendapat ini untuk berargumen terhadap eksistensi jiwa, dan beliau berkata: “Kita juga melihat, bahwasanya anggota badan itu akan hilang satu persatu dengan terpotong dan rusak, dan potensi-potensi itu akan tetap kekal, serta pikiran, tindakan(tadbiyr), dan logika itu lebih menjadi terisi. Maka sudah pasti benar, bahwasanya yang mempunyai efektifitas, yang mengetahui, yang mengingat, yang memenej, yang berkehendak adalah jiwa. Jiwa bukanlah jasad, karena jasad adalah benda mati. Ibn Hazm berpendapat, bahwa jasad bisa berubah-ubah dan rusak. Akan tetapi jiwa itu tetap kontinu, tidak berganti-ganti dengan perubahan-perubahan tubuh. Akan tetapi jiwa itu melakukan perbuatan-perbuatannya, dan tugas-tugasnya, jauh dari jasad, maka benar bahwasanya jiwa itu eksis karena eksistensi perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kewujudannya ini.
Argumen ini, itu menetapkan eksistensi jiwa dan memberikan bukti bahwasanya karakter jiwa itu berbeda dengan karakter badan.
Ibn Hazm menambahkan sebuah argumen lain dari argumen-argumen yang tadi. Ia menunjukkan atas eksistensi jiwa, yaitu etika jiwa (akhlak nafs), dan itu mirip dengan sesuatu yang diistilahkan oleh Ibn Sina sebelumnya dengan nama argumentasi al-af’al al-wahdaniah (perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal). Ibn Hazm berkata: “Di antara al-af’al al-wahdaniah(perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal) adalah etika jiwa, kebijaksanaan, kesabaran, kedengkian, logika, kecerobohan, ketakutan, berwawasan, juga kebodohan, dan semua ini tidak ada kaitannya dengan anggota badan. Apabila tidak ada keraguan dalam hal tersebut, maka semua hal itu hanyalah untuk jiwa yang mengatur jasad.”
Maka Ibn Hazm menetapkan eksistensi jiwa dengan eksistensi akhlak yang menunjukkannya. Beliau pun berkata: “Sesungguhnya akhlak itu dibawa dalam jiwa.” Sesuatu yang dibawa itu tidak akan pernah ada kecuali yang membawanya, maka jiwa harus eksis karena adanya akhlak ini.
Dari sini tampak secara jelas keterkaitan akhlak dengan jiwa menurut Ibn Hazm, dan itu seperti yang kita perhatikan, serta yang ditegaskan dalam tulisan dan karangan-karangan Ibn Hazm, dan sesuatu yang akan kita coba mengungkapnya dalam buku ini melalui izin Allah dalam koridor filsafat humanisme. Maka dari itu, penting bagi kita sekarang untuk menampilkan karakter jiwa seta menjelaskan ciri-cirinya yang penting dan keistimewan-keistimewaannya.
Read more