Showing posts with label tasawuf. Show all posts
Showing posts with label tasawuf. Show all posts

Sunday, October 1, 2017

Perempuan dan Tasawuf - Sinau Filsafat

Apakah ada kajian tentang laki-laki? Pertanyaan ini muncul, ketika realita
menunjukkan bahwa sangat banyak sekali yang mengkaji seputar perempuan. Seakan-akan
dunia adalah milik laki-laki dan perempuan sebagai obyek yang diperbincangkan dan
berhak untuk dikuliti dari berbagai penjuru. Akan tetapi jika tidak mengangkat isu-isu
perempuan, realita menunjukkan perempuan sering mengalami penindasan.
 

Banyak pihak dengan beragam pendekatan berjuang untuk memposisikan perempuan pada tempatnya,
dan persoalan yang muncul apakah sama antara laki-laki dan perempuan? Ada yang berpendapat sama dan ada yang berpendapat berbeda. Pertanyaan lain muncul kenapa jika perempuan dan laki-laki berbeda, dan kenapa jika keduanya sama? Apakah jika berbeda harus dipertentangkan? Tulisan ini muncul dari kejenuhan melihat keduanya dipertentangkan dan  einginan untuk mencari sebuah warna

baru yang lebih ramah, dan menimalisir munculnya polemik yang baru. Dan melihat
kondisi perempuan yang dianggap "rendah" serta posisinya "di bawah laki-laki", terutama dalah hal spiritualitas maka tulisan ini menggunakan prespektif tasawuf.  Dimana tasawuf sangat dekat bahkan bertalian erat dengan perkara spiritualitas. Selain itu, tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang ramah terhadap segala perbedaan, karena tasawuf lebih menitikberatkan pada sisi esoteris, yang tidak melihat sisi luar dari seseorang, begitu pula dengan jenis kelaminnya. Tulisan ini menggunakan pendekatan filosofis, lebih
tepatnya menggunakan kacamata tasawuf.

Tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang terlepas dari sekat-sekat yang
ada, lebih ramah dengan berbagai perbedaan. Karena tasawuf tidak berbicara tentang
aspek fisik atau materi, akan tetapi lebih bahkan melampauinya. Berdasarkan pemahaman
tersebut, penulis mencoba melihat berbagai polemik yang dihadapi oleh perempuan
dengan menggunakan prespektif tasawuf. Berbeda dengan khasanah keilmuan Islam
lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu kalam, tasawuf menampilkan Tuhan dengan sangat ramah,
sisi feminin Tuhan lebih ditonjolkan, sehingga perempuan yang selalu dianggap sangat kental sisi femininnya memiliki kedudukan karena ternyata Tuhan juga memiliki sisi
feminin. Sedang kedua keilmuan di atas lebih menunjukkan sisi maskulin Tuhan, dan
kedua keilmuan tersebut banyak diminati orang sehingga Islam terkesan sangat kasar
terhadap perempuan.
Anggapan bahwa perempuan memiliki spiritualitas yang rendah tidaklah beralasan,
karena sifat feminin yang dimilikinyalah sebenarnya yang memudahkannya berhubungan
dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya tasawuf tidak mengunggulkan jenis kelamin
seseorang yang lebih dilihat bagaimana kedudukannya di hadapan Tuhan. Dalam prespektif
tasawuf perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan untuk dipertentangkan karena
keduanya saling melengkapi, jika mempertentangkan keduanya, semua yang terkait dengan
relasi keduanya tidak akan berakhir. Perempuan dengan kecenderungan femininnya dan
laki-laki dengan maskulinnya, jika keduanya disatukan mengeejawantahkan diri Tuhan,
karena Tuhan memiliki sisi feminin maupun maskulin.

Read more

Saturday, September 30, 2017

Epistemologi Abid Al Jabiri - Filsafat Islam

Sinau Filsafat - Kali ini akan membahas tentang Epistemologi dari filsuf Muhammad Abid Al-Jabiri. Sekilas biografi nama lengkap Muhammad Abid al Jabiri lahir di maroko, ia dosen filsafat dan pemikiran isalam di fakultas sastra, Universitas Muhamad V, Rabat, Maroko. Ia juga seorang yang menggemari pemikiran Karl Marx. Meskipun ia membatasi diri hanya pada Islam - Arab ia membangun metodologi sendiri. ia juga termasuk pemiki kaum strukturalis, postrukturalis, dan posmodernis.


Baca : Manusia dalam Perpekstif Islam

Epostemologi Abid Al Jabiri
Epistemologi Abid al jabiri dibagi menjadi 3 kerangka yaitu ; Bayani, Irfani, dan Burhani. Mari kita sedikit ulas 3 hal tersebut.

  1. Bayani, adalah metode berfikir yang mempunyai ciri khas arab-islam, mengutamakan teks secara langsung dan tidak langsung, serta melalui pembenaran oleh pemikiran bahasa yang diacu melalui literasi/ buku pustaka yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Ushul dan furu', ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu', menurut jabir ushul di sini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti al-quran, ijma', sunnah, dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal dari proses pengalian pengetahuan. Peranan dan hubungan ushul dengan furu' mencakup sebagai sumber pengetahuan, sebagai sandaran bagi pengetahuan lain, dan sebagai pangkal proses pembentukan. Menurut Jabir, lafadz makna mengandung dua aspek yaitu; Teori dan Praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan. Pertama, tentang makna suatu kata. Kedua, tentang analogi bahasa. Ketiga, tentang pemaknaan al asma asy-syar'iah, seperti kata zakat, sholat, puasa, dan lain sebagainya. Untuk cara jabir memperoleh pengetahuan ada dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika.
  2. Irfani, adalah pengetahuan yang didasarkan pada tersingkapnya rahasia-rahasia realita oleh Tuhan, diperoleh dengan olah nurani. Irfan dibagi menjadi 3 tahapan; Persiapan, Pengungkapan, dan Penerimaan. Tahap Persiapan memiliki 7 tahapan; Tobat, Wara, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakkal, dan Ridha. Beberapa pengkaji masalh irfani atau mistik membagi pengetahuan ini dalam beberapa tingkatan; Pertama, pengetahuan tak terkatakan. Kedua, Pengetahuan irfan atau mistisisme. Ketiga, Pengetahuan metasisisme yang terbagi menjadi dua; pertama, 1 orang ketiga masih dalam tradisi yang bersangkutan, kedua 2 orang ketiga dari tradisi yang berbeda.
  3. Burhani, adalah pengetahuan yang di landaskan atas rasio/akal. Menurut Jabir, rasio memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra, yang dikenal dengan istilah tassawur dan tasdiq. Burhani menggunakan aturan silogisme, tidak murni rasio tapi juga didasari atas rasio objek-objek eksternal. Silogisme dalam burhani terbagi menjadi 3 tahapan; Tahapan pengertian, tahapan pernyataan, dan tahapan Penalaran.
Baca Juga : Makalah Filsafat Islam Muhammad Iqbal

Dari ketiga hal yang sudah dijelaskan diatas, perbedaannya ialah; epistemologi bayani menghasilkan pengetahuan melalui analogi non fisik kepada yang asal, Epistemologi Irfani menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan Universal, sedangkan Epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika berdasarkan atas pengetahuan sebelumnya yang sudah diyakini kebenarannya. Kesimpulannya pengetahuan atas hikmah yang didapat tidak dihasilkan oleh kekuatan rasio saja, namun juga melalui proses pencerahan rohani dan semua itu dengan memakai argumen rasional.

Note : Bayani = Teks Suci, Irfani = Intuisi, Burhani = Rasio
Read more

Sunday, September 24, 2017

Bukti Eksistensi Nafs (Jiwa)

Sinau Filsafat - Problematika ini begitu ramai dalam pemikiran filsafat secara umum, hingga kita melihat sebagian filosof dan ahli kalam menolak existensi jiwa secara total. Sebagian lain berkata: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kulihat dengan indra,” dan mereka adalah orang-orang beraliran materialisme yang menolak segala wujud selain jisim. Sebagian lainnya lagi berkata: “Sesungguhnya jiwa berupa bentuk seperti  bentuk-bentuk yang lain,” dan mereka semua menyerupai aliran yang meragukan dan menolak terhadap existensi jiwa. Ibn Sina menyebutkan dalam bukuRisalah Ma’rifah an-Nafs an-Nathiqoh wa Ahwaliha. Aliran materialis ini yang hanya mempercayai jisim, mereka berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimaksud oleh setiap orang dengan perkataan “aku”.  Ahlul ilmiitu berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dari kata ini (”aku”), yaitu badan yang bisa dilihat dan diraba ini, atau yang lain. Kebanyakan orang dan kebanyakan dari ahli kalam mengira bahwa manusia adalah badan ini. Setiap orang yang mengisyaratkan dengan perkataannya: “aku”, ini merupakan persangkaan yang salah.

eksistensi jiwaMaka Ibn Sina menyalahkan perkataan orang yang menolak atau mengingkari existensi jiwa. Beliau berpendapat dalam bukunya al-Isyarat: “Bahawasanya pemahaman manusia sendiri itu tidak memerlukan perantara atau bukti. Pemahaman manusia itu selamanya bukan dengan cara filling dari indra-indra kita atau penalaran-penalaran logis kita, akan tetapi pemahaman manusia itu berupa kesadaran secara langsung melalui intuisi. Kita juga mendapati Ibn Sina menegaskan dalam risalah tentang kekuatan-kekuatan jiwa (al-qawa an-nafsaniah), bahwasanya, “Barang siapa menandai sesuatu sebelum terbukti kematangannya, maka menurut orang-orang bijak ia digololongkan sebagai orang-orang yang menyimpang dari argumentasi yang jelas. Jadi, wajib bagi kita untuk menjadi orang yang bersih dalam menetapkan existensi kekuatan jiwa sebelum memulai memetakan dan menjelaskan bagian-bagian dari kekuatan jiwa tersebut.
Dengan demikian, Ibn Sina merupakan salah satu dari para filosof yang berpendapat bahwasanya existensi jiwa itu sangat jelas dimana tidak membutuhkan sebuah penetapan atau dalil. Akan tetapi yang membuat Ibn Sina menampilkan argumen-argumen yang menunjukkan terhadap existensi jiwa adalah, bahwasanya metode Ibn Sina menuntut agar seorang peneliti mengawali dengan menetapkan existensi jiwa sebelum berbicara tentang potensi serta karakternya, dan juga untuk menolak anggapan orang yang mengingkari existensi jiwa.
Ibn Hazm sebagai orang yang terakhir,  berkomitmen dengan metode yang sama, maka beliau pada awalnya menampilkan pendapat orang yang mengingkari existensi jiwa, dalam bukunya al-Fasl, semisal Abu Bakar bin Kisan al-Ashom atau orang yang menganggap bahwasanya jiwa merupakan bentuk (ard). Seperti al-’Alaf atau pendapat al-Baqilani bahwasanya jiwa adalah nafas, yang berarti hembusan nafas yang keluar masuk melalui pernapasan. Ibn Hazm menjelaskan pendapat-pendapat mereka yang salah, dan menerangkan bahwasanya perkataan al-’Ashom itu kontra dengan dalil ‘aql dan naql.
Adapun naql itu dari firman Allah swt: Qs. Al-An’am :93. Maka benar, bahwa jiwa itu ada, dan jiwa bukanlah jasad. Jiwa keluar dari badan tatkala mati.
Ibn Hazm meyakinkan akan existensi jiwa melalui nash syariat, kemudian beliau menambahkan dengan argumentasi logis (dalil ‘aqli). Beliau berkata: “Adapun dalil‘aqli, sesungguhnya kami melihat apabila seseorang ingin membersihkan akal dan membenarkan pendapatnya, atau memecahkan masalah yang rumit yang dibalik pikirannya dan mengkhususkan dirinya, serta memisahkan dirinya dari indra-indra jasadnya, dan secara total tidak menggunakan badannya dan terlepas dari badannya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya, dan tidak mendengar apa yang dikatakan didepannya, maka ketika itu pendapat dan pikirannya itu menjadi lebih bersih yang sebelumnya kotor. Adapun pikiran dan ingatan itu bukanlah untuk jasad yang menjauhinya tatkala menghendaki pikiran dan ingatan.
Kemudian Ibn Hazm memberikan argumentasi lain, bahwasanya yang dilihat oleh orang tatkala sedang tidur, itu benar-benar diluar kehendaknya. Itu hanya ketika jiwa meninggalkan jasad, dan tinggalah jasad seperti tubuh orang mati dan kebekuannya. Ketika itu, ia melihat dalam mimpi-mimpinya, mendengar, berbicara dan mengingat, dan menjadi tidak berfungsi aktifitas penglihatannya, aktifitas pendengaran jasmaninya, aktifitas penciuman badannya, dan aktifitas pengucapan fisiknya, maka pasti bahwasanya yang menggerakkan, yang melihat, yang mendengar, yang berbicara, yang merasa, itu adalah sesuatu selain jasad, maka tepatlah kalau ia dinamakan jiwa.
Kita juga menjumpai al-Ghazali mengambil dari dalil naqli sebagai hujjah untuk menunjukkan existensi jiwa. Beliau berkata, bahwasanya syariat itu selalu mengajak jiwa-jiwa dan memberitahukannya tentang siksa terhadap jiwa yang bersalah dan ganjaran bagi yang taat. Jelas sekali, bahwasanya badan itu bukanlah yang dimaksud dengan hukuman ini, namun ganjaran itu hanya ditujukan kepada jiwa. Ini saya tambahkan, bahwasanya ada bermacam-macam siksa yang khusus bagi jiwa, bukan yang lain. Oleh karena itu, apabila syariat itu berbicara tentang jiwa dan mengingatkannya dari kehinaan atau keburukan, dan menakut-nakutinya dengan siksa, itu merupakan sebuah bukti bahwasanya jiwa adalah jauhar yang ada tentunya. Al-Ghazali menyebutkan, yaitu dalam hal argumen ini: “Maka semua ajaran-ajaran syariat itu menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jauhar, dan sesungguhnya rasa sakit itu meskipun berada dalam badan, maka itu hanya untuk jiwa, kemudian jiwa itu mempunyai azab lain yang khusus atau hal itu seperti kehinaan, kesedihan, dan sakitnya perpisahan.
Dalil naqli ini sesuai dengan al-Ghazali, Ibn hazm, dan Ibn Qayim, yang berkata: “Sesungguhnya, dalil yang datang dari Al-Quran al-Karim, sunah, perkataan sahabat, dan mayoritas orang-orang berakal menunjukkan bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya, firman Allah ta’ala: Qs. An-Nur: 61, dan firman Allah ta’ala: Qs. An-Nahl: 111. Maka Ibn Qayim meyakinkan sebagai yang terakhir tentang wujud jiwa, dan sesungguhnya jiwa adalah zat manusia seperti yang dikabarkan oleh nash. Ibn Hazm tidak mengeritik tentang existensi jiwa, namun beliau menerima existensi jiwa sebagaimana yang dikabarkan oleh nash.
Sebagaimana yang engkau lihat, Ibn Mulka Abu al-Barakat al-Baghdadi berkata dalam hal ini: “Sesungguhnya manusia meskipun tidak perlu dalam menetapkan existensi jiwanya sendiri, namun dengan kemampuannya itu akan terealisir dari wujud ini apabila ia mengira-ngira atau menghayal bahwa indra dan akalnya itu disfungsi secara total. Maka sesungguhnya ia tidak akan meragukan bahwa wujudnya benar-benar ada melalui proses ini. Tidak ada satupun dari manusia merasa membutuhkan dalil dalam menetapkan wujud jiwanya. Siapa orang yang meragukan bahwa ia ada hingga merasa jelas dengan sebuah hujjah, maka ia merasa yakin dengan hal tersebut. Tidak ada bagi siapapun dari manusia yang lebih jelas dari pada itu, yang saya maksud adalah yang lebih jelas dari existensi zatnya. Manusia juga tidak perlu menjelaskan bagi dirinya sendiri, bahwa orang lain itu mempunyai jiwa atau zat atau jati diri.
Pengetahuan ini menurut Ibn al-Mulka dinamakan sebagai pengetahuan tanpa pembeda. Namun Ibn Mulka member komentar, bahwasanya hal paling penting yang membedakan pengetahuan ini adalah bahwasanya pengetahuan ini tersebut merambah pada semua pengetahuan-pengetahuannya.
Para filosof dan ahli kalam (mutakalim) itu mereka mulai menerima akan existensi jiwa, dan mereka tidak mengadu dalam existensi ini seperti yang dilakukan oleh yang lain. Maka dari itu, jiwa bagi mereka adalah yang exis, realistis, dan yang dapat diterima. Ini sejalan dengan aliran madzhab mereka secara umum. Mereka tidak meragukan pada awalnya, pada existensi jiwa seperti yang dilakukan oleh Dekart dan lainnya, akan tetapi mereka memulai dengan pemikiran dan keyakinan, yang itu merupakan aktifitas jiwa. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Lama kuberfikir dalam jiwa setelah keyakinanku, bahwasanya jiwa adalah pemilik pikiran ini.”
Dekart berkata: “Sekarang akan kubutakan mataku, kutulikan pendengaranku, dan akan aku non aktifkan semua indraku, bahkan kuhapus semua gambaran-gambaran jasmani dari khayalanku. Namun aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiranku atau terlepas dari memikirkan diriku.”
Ibn Hazm memulai dengan pikiran dan keyakinan yang itu merupakan karakter perbuatan jiwa, maka nyatalah existensi jiwa secara yakin… Dalam konteks ini, lebih dahulu menjadi seorang filosof yang besar pada era modren ini. Ibn Hazm berkata: “Apabila ia ingin membersihkan akalnya atau membenarkan pendapatnya atau memecahkan masalah yang sukar yang terlintas dalam pikirannya, dan membebaskan dirinya dari indra-indra jasadnya serta tidak memfungsikan jasadnya secara total, dan ia terbebas dari jasadnya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya dan tidak mendengar apa yang dikatakan dihadapannya, maka sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya pikiran dan pendapat bukanlah perbuatan tubuh yang tidak ada jiwanya ketika menghendaki kedua perbuatan tersebut, yaitu pikiran dan dzikir. Akan tetapi ia adalah perbuatan jiwa yang ada, dimana indra dan tubuh tidak memiliki pengaruh pada sesuatu yang kita sebutkan.”
Pendapat ini, pun dikatakan oleh Ibn Mulkan setelah ini: “Sesungguhnya engkau apabila menjauhi seorang manusia yang sedang menyendiri dengan jiwa(diri)nya dari semua yang dilihat, didengar, dan yang dipikirkan dari pikiran-pikiran, maka  perasaannya sendiri dengan jiwanya itu sudah ada dan yang mengelilinginya serta tidak pernah pergi darinya… Maka perasaan manusia dengan dirinya itu lebih dulu ada daripada perasaanya terhadap orang lain, dan pengetahuannya yang sempurna tentang jiwanya itu datang lebih akhir daripada pengetahuannya terhadap banyak hal. Maka Ibn Mulkan berpandangan, bahwa wujud manusia itu tidak memerlukan dalil aqli, karena wujudnya itu berupa perasaan yang jelas dan pasti serta tidak memerlukan argumentasi.”
Kita juga menemukan Ibn al-’Airi, dalam hal ini ia berkata: “Ada beberapa hal yang bisa diterima tentang hakekat wujud jiwa, dan wujud jiwa adalah sesuatu yang fitrah, yang tidak membutuhkan dalil. Akan tetapi dalil wujud jiwa tersebut jelas dari namaan-nafs. Sesungguhnya nama itu menunjukkan kepada yang dinamai, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles: “Apabila seorang manusia itu berakal, mengetahui, berfikir, memahami, dan manusia melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, dimana ia (manusia) apabila ditinggalkann oleh jiwa, maka semua perbuatan  tersebut tidak akan ada. Dari situ terlihat bahwasanya perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh jiwanya tadi.”
Artinya, sesungguhnya Ibn al-’Airi juga berpendapat, bahwasanya existensi jiwa itu jelas, pasti, dan fitrah, tidak membutuhkan kepada dalil. Ibn Bajah yang terakhir mengikuti pendapat ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa tergolong dari hal-hal yang dzohir, yang ada, dan mencari klarifikasi wujud jiwa itu seperti wujud karakter, dan orang yang melakukan hal itu tidak akan tahu perbedaan antara yang dikenal dengan jiwanya (ma’lum binafsihi) dan yang dikenal oleh selain jiwanya (ma’lum bighoirihi). Hanya saja, kami mendapatinya menyuguhkan argumentasi terhadap wujud jiwa sebagai jauhar, yang berbeda dengan jauharnya badan dengan argumentasi-argumentasi yang ia tentukan, yang disebutkan oleh Ibn Sina, walaupun Ibn Bajah tidak menyebutkannya secara transparan. Ibn Sina menyuguhkan banyak argumentasi2 untuk menetapkan wujud jiw, dan argumentasi tersebut itu menjelaskan perbedaan jiwa dengan badan. Prof. Ibrahim Madzkur berkata: “Sesungguhnya usaha(eksperimen) Ibn Sina itu bukanlah yang pertama dalam sejarah filsafat, hanya saja eksperimen Ibn Sina tersebut mempunyai kelebihan dari sebelumnya dengan lebih mencakup, detail, dan lebih mendalam.” Dalam hal itu Ibn  al-Airi berkata: “Kita telah melihat percobaan-percobaan (usaha-usaha) dalam menetapkan wujud jiwa, baik yang klasik maupun yang moderat, dan tidak kita sangka di antara usaha-usaha itu ada satu eksperimen yang mirip dengan argumentasi Ibn Sina dalam memahami jiwa dan macam-macamnya.”
Ibn Sina telah menyebutkan banyak argumen dalam menetapkan wujud jiwa, yaitu:
1.      Argumentasi natural psikologi
2.      Integrasi keakuan(ego) dan integrasi fenomena kejiwaan
3.      Argumentasi kontinuitas dan argumentasi seorang laki-laki yang terbang dan tergantung di langit
Ibn Bajah mengambil argumen-argumen ini sebagai pendapatnya untuk menetapkan wujud jiwa manusia, dan meskipun ia tidak menyebutkan bahwasanya yang tersebut adalah argumen Ibn Sina. Ibn Bajah berbicara tentang argumentasi alami(thobi’i), dan begitu juga argumentasi psikologi yang berbicara tentang keadaan-keadaan jiwa dan emosional-emosiaonalnya. Ibn bajah juga menyebutkan argumentasi kontinuitas yang menegaskan bahwasanya tubuh(jisim) adalah  yang berganti-ganti, berubah-ubah, dan mengalami kerusakan dan musnah. Adapun jiwa itu kekal dan tidak mengalami kerusakan. Begitu juga argumentasi tentang seorang laki-laki yang terbang itu ditampilkan oleh Ibn Bajah dalam gaya baru.
Beginilah kita bisa melihat bahwasanya menetapkan wujud jiwa itu termasuk permasalahan yang sangat penting yang di stimulasi(atsaar) oleh pemikiran filsafat. Meskipun banyak dari para filosof Islam menerima akan eksistensi jiwa secara wujud intuisi yang pasti dan jelas tanpa memerlukan argumen-argumen logis, hanya saja kita melihat sebagian orang menyebutkan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menetapkan eksistensi jiwa terhadap orang yang dihinggapi keraguan dalam eksistensi jiwa.
Dalam hal ini Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya kita melihat, orang yang rusak jasadnya dan kontruksinya, dan meskipun demikian ia mempunyai pikiran, logika yang kuat, tamyiz(kemampuan berfikir), berakal, dan bijaksana. Maka, ini merupakan bukti bahwasanya yang memahami sesuatu adalah yang bersifat efektif, bisa membedakan, dan hidup. Ia sesuatu selain tubuh, dan sesuatu itu adalah jiwa yang terus eksis.
Ibn Hazm di sini menjadikan pemahaman akal dan proses logika sebagai dalil terhadap eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sina sebelumnya, dan meskipun Ibn Sina telah memfokuskan dalam membedakan antara perbuatan-perbuatan manusia dan yang lainnya seperti macam-macam hewan. Sesungguhnya manusia adalah yang memahami makna-makna global yang bersih dari semua karakter indrawi.
Imam Ghazali juga mengambil argumentasi ini untuk menetapkan eksistensi jiwa.Sebagaimana beliau mengambil argumentasi kontinuitas, yaitu kontinuitas eksistensi jiwa meskipun keadaan-keadaan badan berubah-ubah. Al-Ghazali dalam hal ini berkata: “Sesungguhnya engkau mengetahui, bahwasanya jiwamu semenjak engkau dulu belum berubah-ubah, dan sudah diketahui bahwasanya badan dan semua sifat-sifatnya itu berubah-ubah. Karena apabila sifat-sifat badan itu tidak berubah-ubah, niscaya ia tidak akan mengonsumsi makanan, karena mengonsumsi makanan itu agar bisa menggantikan apa yang berubah dari badan. Jadi, jiwamu tidak ada kaitannya dengan badan dan sifat-sifatnya.” Argumen yang sama ini, itu telah dikatakan oleh Ibn Sina sebelum al-Ghazali.
Begitu juga Ibn Hazm menggunakan pendapat ini untuk berargumen terhadap eksistensi jiwa, dan beliau berkata: “Kita juga melihat, bahwasanya anggota badan itu akan hilang satu persatu dengan terpotong dan rusak, dan potensi-potensi itu akan tetap kekal, serta pikiran, tindakan(tadbiyr), dan logika itu lebih menjadi terisi. Maka sudah pasti benar, bahwasanya yang mempunyai efektifitas, yang mengetahui, yang mengingat, yang memenej, yang berkehendak adalah jiwa. Jiwa bukanlah jasad, karena jasad adalah benda mati. Ibn Hazm berpendapat, bahwa jasad bisa berubah-ubah dan rusak. Akan tetapi jiwa itu tetap kontinu, tidak berganti-ganti dengan perubahan-perubahan tubuh. Akan tetapi jiwa itu melakukan perbuatan-perbuatannya, dan tugas-tugasnya, jauh dari jasad, maka benar bahwasanya jiwa itu eksis karena eksistensi perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kewujudannya ini.
Argumen ini, itu menetapkan eksistensi jiwa dan memberikan bukti bahwasanya karakter jiwa itu berbeda dengan karakter badan.
Ibn Hazm menambahkan sebuah argumen lain dari argumen-argumen yang tadi. Ia menunjukkan atas eksistensi jiwa, yaitu etika jiwa (akhlak nafs), dan itu mirip dengan sesuatu yang diistilahkan oleh Ibn Sina sebelumnya dengan nama argumentasi al-af’al al-wahdaniah (perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal). Ibn Hazm berkata: “Di antara al-af’al al-wahdaniah(perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal) adalah etika jiwa, kebijaksanaan, kesabaran, kedengkian, logika, kecerobohan, ketakutan, berwawasan, juga kebodohan, dan semua ini tidak ada kaitannya dengan anggota badan. Apabila tidak ada keraguan dalam hal tersebut, maka semua hal itu hanyalah untuk jiwa yang mengatur jasad.”
Maka Ibn Hazm menetapkan eksistensi jiwa dengan eksistensi akhlak yang menunjukkannya. Beliau pun berkata: “Sesungguhnya akhlak itu dibawa dalam jiwa.” Sesuatu yang dibawa itu tidak akan pernah ada kecuali yang membawanya, maka jiwa harus eksis karena adanya akhlak ini.
Dari sini tampak secara jelas keterkaitan akhlak dengan jiwa menurut Ibn Hazm, dan itu seperti yang kita perhatikan, serta yang ditegaskan dalam tulisan dan karangan-karangan Ibn Hazm, dan sesuatu yang akan kita coba mengungkapnya dalam buku ini melalui izin Allah dalam koridor filsafat humanisme. Maka dari itu, penting bagi kita sekarang untuk menampilkan karakter jiwa seta menjelaskan ciri-cirinya yang penting dan keistimewan-keistimewaannya.
Read more

Saturday, September 23, 2017

Sinau Filsafat - Definisi an-Nafs (Jiwa) Menurut Para FIlosof dan Ahli Kalam

jiwa menurut para filsofSINAU FILSAFAT - Sebagaimana nampak dengan jelas para filosof dan ahli kalam terhadap studi untuk mempelajari jiwa (nafs), dan mereka disibukkan dengan mendefinisikannya setelah mereka mengetahui arti pentingnya, nilainya, dan keilmuannya, dan walaupun demikian jiwa tersebut belum diketahui apapun tentang dzatnya, dan tidak mengenal perihal karakternya, maka mereka mulai mempelajari dan mendefinisikannya. Al-Kindi berkata: “Sesungguhnya jiwa itu sederhana. Ia mempunyai kemuliaan dan kesempurnaan yang agung, esensinya itu berasal dari esensi Allah SWT, seperti analogi pantulan cahaya matahari itu berasal dari matahari.
Begitu juga, menurut al-Kindi, jiwa itu independen dari tubuh, dengan melihat esensi darinya, dan jiwa itu dilindungi dari efek bintang-bintang/planet, dimana planet-planet itu hanya mempengaruhi terhadap hal-hal yang alamiah. Jiwa manusia menurut al-Kindi adalah esensi yang luas lagi kekal, esensi tersebut turun dari alam logika ke alam materi.
Al-Kindi terpengaruh terhadap definisinya dengan pendapat-pendapat plato dan aflotin, dan sajiannya pada tulisan kecilnya yang bernama al-Qaul fi an-Nafs min Kitab Aristo wa Aflaton wa Sair al-Falasifah.
Pengaruh filsafat nampak begitu jelas terhadap al-Farabi, dan khususnya dalam definisinya terhadap jiwa (an-nafs) bahwasanya ia adalah bentuk kesempurnaan dari inti bentuk yang mekanis, yang mempunyai kehidupan melalui sebuah kekuatan. Jiwa menurut al-Farabi merupakan bentuk bagi badan seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Akan tetapi al-Farabi tidak hanya berhenti pada merasakan pentingnya pendapat ini. Kemudian setelah dipastikan al-Farabi merujuk atas pendapat bahwasanya jiwa yang berakal itu adalah esensi manusia, karena esensi manusia itu terdiri dari dua unsur;  salah satunya dari ‘alamul amr’ (alam universal) yaitu alam ilahi dan unsur yang lain dari alam indrawi. Beliau menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya Ats-tsamrah al-Mardhiah, beliau berkata: ” Engkau tersusun dari dua esensi; salah satunya terbentuk, tergambar, terukur, bergerak, diam, mempunyai jasad, dan terbagi-bagi, sedangkan yang kedua itu berbeda dengan yang pertama dalam sifat-sifat ini, serta tidak sama dalam dzat sebenarnya yang dinalar oleh akal dan yang ditolak oleh akal. Engkau  telah dikumpulkan dari alam indrawi dan alam universal karena ruhmu berasal dari Tuhanmu, dan dengan demikian engkau adalah ciptaan Tuhanmu.” Artinya, sesungguhnya jiwa menurut al-Farabi merupakan yang bersifat ruhiah madiah yang terkumpul dari dua unsur, yaitu unsur ruh dan unsur materi. Al-Farabi dalam pendapat ini mendekati gambaran Al-Qur’an jiwa manusia secara umum.
Adapun Ibn Sina sepakat dengan al-Farabi dan al-Kindi dalam perhatian terhadap jiwa, mempelajarinya dan mendefinisikannya. Beliau berkata mengenai hal itu, bahwasanya jiwa merupakan bentuk kesempurnaan inti dari jisim natural yang mekanis dari sisi ia melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari pilihan-pilihan (pen: melalui proses) pikiran dan penggalian pendapat, dan dari sisi memahami persoalan universal.
Ibn Sina mencoba membuktikan wujud jiwa sebelum ia berbicara mengenai sifat-sifatnya, karakternya, dan definisinya. Karena beliau berpendapat, bahwasanya metode yang bagus itu mengharuskan seseorang agar mengawali terlebih dahulu untuk menetapkan  sesuatu yang ingin dibicarakan, kemudian baru ia berbicara hal berikutnya.
Oleh karena itu, Ibn Sina mendahulukan argumen-argumen dalam menetapkan wujud jiwa daripada berbicara tentang karakternya. DR. Mahmud Qasim berkata bahwasanya Ibn Sina melalui pembuktian wujud jiwa, beliau ingin menjadikannya sebagai lintasan guna menjelaskan karakter dan perbedaannya dari badan, agar hal tersebut bisa menjadi dalil bahwasanya jiwa itu bukanlah bagian dari badan, yang eksis ketika badan itu ada dan binasa ketika badan itu rusak.
Dalam buku as-Syifa, Ibn Sina menegaskan bahwasanya jiwa adalah esensi  yang bersifat ruh natural yang bersemayam di badan guna memonitoring dan mengendalikannya, sebagaimana seorang nahkoda yang berada di sebuah kapal (yang berperan) untuk mengatur masalah kapal dan memperhatikannya. Artinya, sesungguhnya Ibn Sina menemukan definisinya terhadap jiwa, bahwasanya  jiwa merupakan bentuk sempurna inti bagi jisim mekanis alami, yang pada kenyataanya tidak bisa memberikan pengetahuan tentang karakternya, karena seseorang akan bertanya-tanya setelahnya, apakah jiwa itu abstrak ataukah konkrit? Oleh karena itu, Ibn Sina menjelaskan pengertian dan definisinya bahwa jiwa adalah esensi abstrak yang independen, yang berhubungan dengan badan agar ia mengatur,  memperhatikan, dan merealisasikan bentuk kesempurnaan baginya(badan), yang merupakan bagian dari visi jiwa. Kesempurnaan itu makna sebenarnya berkomitmen terhadap kebaikan-kebaikan serta mempraktekan fadilah yang bagus.
Adapun Ibn Hazm, beliau telah mencoba untuk  mendefinisikan jiwa. Beliau mengakui akan jiwa itu,  kemudian beliau menyuguhkan empat definisi terhadap jiwa. Dari situ beliau mencoba untuk menjelaskan hakekatny, dan menjelaskan tabiatnya. Definisi-definisi ini terpisah di sejumlah tempat yang berbeda dari buku-bukunya. Ibn Hazm menyebutkan dalam bukunya, al-Fasl, bahwasanya jiwa merupakan jisim yang panjang, lebar dan dalam, yang mempunyai tempat, berakal, dan bisa membedakan yang mengatur badan. Ibn Hazm juga mendefinisikan jiwa dalam kitabnya, at-Taqrib, “Jiwa adalah perasaan yang memahami melalui perantara panca indra.” Beliau juga menegaskan dalam definisinya yang lain, “Jiwa merupakan operator yang membedakan, yang hidup, dan pembawa akhlak.”Kemudian menampilkan definisi keempat yang mana beliau mencoba menggabungkan didalamnya, semua ciri yang beliau sebutkan dalam definisi-definisi sebelumnya guna menjelaskan karakter jiwa dan mendefinisikannya hamper secara komprehensif. Beliau berkata, “Sesungguhnya jiwa adalah yang mengatur tubuh, dan perasaan yang dinamis berakal, dan sedangkan jasad merupakan benda mati yang tidak memiliki kehidupan, dan benda mati yang tidak bergerak melainkan digerakkan oleh jiwa.
Definisi ini terdapat diakhir buku-bukunya yang menunjukkan atas pengertian komprehensif dan hakekat yang jelas menurut Ibn Hazm. Karena definisi yang pertama itu berbicara mengenai jiwa yang dianggap sebagai jisim materialis, yang memiliki panjang, lebar, tinggi, dan mempunyai tempat. Karena jiwa menurut Ibn Hazm itu sesuatu yang diyakini ada, karena tidak sesuatu yang berwujud kecuali mempunyai jisim-jisim dan bentuk-bentuk (al-’arad: al-munawir: 918), dan ketika jiwa itu bukanlah bentuk (al-’arad: al-munawir: 918). Maka jiwa adalah jisim, dan begitu juga jiwa itu berakal sekaligus operator. Inilah visi jiwa, karena logika berfikir dan aturan merupakan hal-hal yang bukan bersifat materi, yang mana tampak di dalamnya sisi logis dengan sisi materi yang natural. Definisi ini juga senada dengan definisi Ibn Hazm tentang manusia, bahwasanya ia adalah tubuh, dan manusia adalah jiwa. Manusia adalah keduanya secara bersamaan sebagaimana yang kita tampilkan sebelumnya.
Definisi yang kedua, itu sesuai dengan pemikiran bahwasanya manusia adalah jiwa perasa yang mempunyai kemampuan untuk memahami. Adapun definisi yang ketiga, dalam definisi ini nampak kekuatan-kekuatan jiwa yang aktif dan logis, yang membawa akhlak. Artinya, dalam definisi ini terlihat ada hubungan antara jiwa dengan akhlak dan perilaku etis. Dari semua definisi-definisi tentang jiwa yang disuguhkan oleh Ibn Hazm ini, kita bisa mengatakan bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi. Ini selaras dengan pemikiran, bahwasanya objek ilmu alami adalah jisim (ilmu ath-thobi’i). Jiwa juga logis, berakal, dan mengoperasionalkan tubuh. Jiwa itu sensitif terhadap indra, dan sesungguhnya tubuh merupakan benda mati yang tidak mempunyai gerakan kecuali ia digerakkan oleh jiwa. Jiwa juga yang mengatur dan yang mengoperasionalkan tubuh ini. Semua ini menyilahkan kita bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm itu tergolong dalam cakupan pembahasan-pembahasan ilmu natural (ilmu thobii), materialis, dan realistis. Ini merupakan aliran yang paling dominan bagi para pemikir Islam.
Ibn Hazm mulai menjelaskan definisi-definisi ini, dan berargumentasi dengan argumen-argumen aqli dan naqli untuk menunjukkan kebenarannya. Beliau menuju kepada teks-teks dan sunah nabi, yang mana beliau membentangkan definisi-definisinyanya itu dari teks-teks Al-Qur’an dan sunah tersebut. Beliau ingin membuktikan keabsahan definisi-definisi yang beliau suguhkan melalui argumentasi teks-teks Quran dan sunah nabawi. Maka beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala: Qs. Yunus: 30, dan firman Allah ‘azza wajalla: Qs.Ghafir, dan firman Allah Ta’ala: Qs. An-Naml: 111, dan firman Allah Ta’al: Qs. Al-Qiyamah: 2.
Ayat-ayat yang menjelaskan ini, itu menetapkan sifat jiwa yang materialis, dan bahwasanya jiwa itulah yang beraksi, yang bekerja, yang benar dan yang salah, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Sesungguhnya jiwa juga bukan jasad, karena jiwa adalah yang menentang, yang berbuat angkara, dan jiwa itu berakal, yang dijadikan objek, dan yang diberi beban (taklif:tuntutan ketaatan). Jiwa juga yang memerintahkan  keburukan, dan ia diadzab menurut amal dan perbuatannya. Allah  firman: Qs. Al-Imron 169-170.
Ibn Hazm berargumen() melalui firman Allah Ta’ala, guna menunjukkan bahwasanya diantara jiwa-jiwa itu ada yang dilempar ke dalam neraka sebelum hari kiamat, kemudian ia di adzab. Di antara jiwa-jiwa itu ada yang diberi rizki dan menikmati kesenangan(farhan), dan jiwa itu merasakan kebahagiaan sebelum hari kiamat. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Sudah pasti, bahwasanya jasad keluarga fir’aun dan jasa-jasad orang yang terbunuh itu sudah terpotong-terpotong dan musnah. Sebenarnya yang diadzab adalah jiwa yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan ini merupakan sifat dari jisim, dan bukan sifat dari jauhar.
Kemudian Ibn Hazm membubuhkan hadits dari sunah nabi yang menyepakati pendapatnya. Beliau menyebutkan perkataan Rasulullah Saw tentang “as-syuhada“(mati syahid) bahwasanya Rasulullah melihat arwah para syuhada itu dalam sekumpulan burung yang banyak di surga. Rasulullah saw juga bersabda, bahwasanya beliau melihat jiwa-jiwa(nasam) bani adam(manusia) itu terletak di langit bumi, di sisi kiri dan kanan adam. Maka betul bahwasanya jiwa-jiwa itu terlihat pada tempat-tempatnya. Dengan demikian, jiwa merupakan jisim. Rasulullah mengatakan, bahwasanya jiwa orang mukmin apabila dicabut itu akan diangkat ke langit, dan jiwa itu dibuat seperti itu. Jiwa orang kafir apabila dicabut dibikin seperti ini. Maka benar apabila jiwa-jiwa itu tersiksa, memperoleh kenikmatan, dan berpindah-pindah dari beberapa tempat, dan ini adalah sifat dari jisim.
Artinya, sebenarnya Ibn Hazm mencoba untuk membuat definisinya terhadap jiwa, bahwasanya jiwa adalah jisim yang sesuai dengan teks-teks yang ada dalam al-Quran dan sunah. Untuk itu Ibn Hazm menolak sembilan belas argumen, yang dijadikan sebagai dalil oleh orang yang menentangnya dalam hal bahwasanya jiwa itu bukan jisim. Ibn Hazm akhirnya meyakinkan bahwasanya jiwa itu jisim, untuk menetapkan wujudnya, dan jiwa itu bukan “ard” dan bukan yang bersifat “jauhar” sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang. Akan tetapi jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang memiliki panjang, lebar dan tinggi, mempunyai atap, mempunyai garis, bentuk, lebar, dan aturan-aturan yang mengelilinginya, yang mempunyai ruang dan waktu, karena ini adalah ciri khas dari jisim.
Kenyataannya, bahwasanya Ibn Hazm dengan perkataannya ini, beliau telah mengambil madzhab materialis dalam definisinya terhadap jiwa. Andaikata ia berkata bahwasanya jiwa adalah jauhar, niscaya perkatannya tersebut lebih sesuai untuknya. Terlebih lagi ia berpendapat bahwasanya semua jauhar adalah jisim dan semua jisim adalah jauhar, dan keduanya adalah makna yang mempunyai satu arti. Maka dari itu, perkataan Ibn Hazm bahwa jisim adalah jauhar, dan jiwa adalah jisim, maka itu mempunyai arti bahwasanya jiwa adalah jauhar. Sebenarnya hal tersebut lebih mendekati pada karakter jiwa dan definisinya. Hal itu dikarenakan Ibn Hazm berpendapat bahwasanya jiwa adalah ruh, dan sebenarnya jiwa adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar, dan tinggi. Maka ruh juga menjadi seperti demikian, dan ini adalah yang kita tidak setujui, karena ruh bukanlah jiwa yang mempunyai dimensi. Pada dasarnya kita tidak mengetahui sedikitpun tentang ruh, maka tidak mungkin kita menginformasikan perihal ruh melalui informasi yang belum kita ketahui. Allah berfirman: Qs. Al-Isra: 85:
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”
Maka Ibn Hazm telah melewati batas teks di sini ketika beliau menjelaskan bahwasanya jiwa merupakan ruh, dan kita berbicara tentang ruh dengan pembicaraan layaknya orang yang berpengetahuan dan amanah.
Ibn Hazm juga berkomitmen dalam berbicara tentang menetapkan wujud jiwa, seperti pembicaraan tentang karakternya sebagaimana Ibn Sina juga berkomitmen seperti itu sebelumnya. Begitu juga kita mengetahui, Ibn Ghozali telah mengambil poin penting dari Ibn Sina dalam usahanya untuk mendefinisikan jiwa hingga beliau membuat kesimpulan bahwasanya jiwa -meskipun ia merupakan bentuk sempurna atau berupa jisim natural yang mempunyai kehidupan dengan sebuah kekuatan- sebenarnya tidak tercetak dalam jisim atau jiwa itu ditopang oleh jisim. Beliau berkata: “Nampak dari sebagian prinsip-prinsip kita yang telah kita tetapkan, bahwasanya jiwa tidak tercetak dalam badan dan tidak berdiri tegak dengan topangan badan.”
Maka, hubungan jiwa dengan badan harus dalam bentuk mengatur dan mengoperasionalkan. Adapun Imam Ibn Qayim beliau mengikuti Ibn Hazm dalam perkataanya tentang jiwa yang berupa jisim. Beliau menegaskan sendiri akan hal tersebut dalam perkataanya: “Muhammad Ibn Hazm serta seluruh tokoh agama yang mengakui hari akhir, itu berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan dengan inilah kami berpendapat.” Ibn Qayim mendefinisikan bahwasanya jiwa adalah jisim lembut, yang bersifat materi dan berkilauan…, yang menembus jauhar anggota badan dan mengalir seumpama aliran air dalam badan pada pohon hijau.
Artinya, sesungguhnya Ibn Qayim itu mengikuti aliran Ibn Hazm yang berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan akan tetapi ibn qayim berkata: “Sesungguhnya jisimnya jiwa itu berbeda dengan jisimnya badan, dan jiwa menurut linguistik bukanlah jisim akan tetapi maksud jisimnya jiwa bahwa jiwa itu mempunyai sifat dan perbuatan yang ditunjukkan oleh syariat, akal, dan indra…. Seperti bergerak, pindah, naik, turun, merasakan siksa dan kesenangan, dan derita…. Karena jiwa itu terpenjara dalam badan, pergi, tercabut, masuk, dan keluar.” Ibn Qayim membubuhkan dalil  atas kebenaran pendapatnya, maka beliau menampilkan 116 dalil dalam kitab ar-Ruh terhadap jisimnya jiwa, berargumentasi dengan teks yang ada dalam Quran, sunah nabi dan riwayat-riwayat dari sahabat, dan kira-kira itu ayat yang sama yang dipakai Ibn Hazm dalam argumentasinya yang menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jisim. Adapun Ibn Bajah, beliau telah mencoba untuk menggabungkan antara sisi jauhar dan sisi materi dalam definisinya terhadap jiwa, atau antara pendapat plato dan aristoteles. Lalu beliau melihat tentang jiwa, bahwasanya jiwa adalah jauhar sebagaimana yang dikatakan oleh Plato, dan bahwasanya jiwa juga sebuah bentuk sebagaimana pendapat Aristoteles. Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah bentuk seperti badan ini. Jiwa adalah jauhar,  yang berbeda apabila dilihat esensinya. Jiwa adalah bentuk apabila kita mengategorikan dalam hubungannya dengan badan. Tatkala Ibn Bajah menggeneralisir kata “jauhar” terhadap semua bentuk dan materi, dan sesuatu yang tersusun dari keduanya. Jadi mudah baginya untuk menggabungkan antara jauhar dan bentuk dalam penjelasannya terhadap karakter jiwa. Maka jiwa menurut Ibn Bajah itu berupa jauhar yang berbeda, karena dalam diri manusia terdapat makna yang abadi, yaitu bentuk general manusia yang terealisir dari wujud jiwanya yang berakal, dan apabila jiwa berupa bentuk untuk badan, maka itu disebabkan karena jiwa adalah sumber gerak, indra, dan kehidupan yang dinikmati oleh badan. Badan adalah tempat atau kontruksi dasar yang mungkin bisa menerima seluruh perbuatan-perbuatan ini.

Maka dari seluruh definisi-definisi ini, kita melihat bahwa sebagian para filosof dan ahli kalam berpendapat bahwasanya jiwa  itu berupa jauhar, dan sebagian lain menganggap jiwa berupa jisim dan materi, sedangkan golongan yang ketiga menggabungkan kedua pendapat ini.
Read more

Thursday, March 10, 2016

TASAWUF SEBAGAI KONSEP

   Istilah Tasawuf belum dikenal pada zaman Rasul, tetapi substansi ajaran tasawuf di ambil dari perilaku Rasulullah sendiri. kalimat tasawuf diduga berasal dari kata shafa yang artinya bersih, atau dari kata suf yang artinya woll, merujuk pakaian sederhana para sufi purba. Ajaran Islam mengenal pembidangan akidah, syariah, akhlak atau pembidangan Islam, iman dan ihsan. Dalam prespektif ini maka tasawuf berada dalam akhlak atau ihsan.


                Dalam khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan amat pesat, tetapi psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti ulama tidak tertarik dalam masalah jiwa. Al-Qur’an dah Hadist sendiri banyak membicarakan tentang jiwa (nafs), tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman psikologis masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaan terhadap Gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama(gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan  sendiri tanpa panduan agama dan jadilah kemudian peradaban sekular.
                Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam itu sendiri mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum Muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani pertumbuhannya tetap berada dalam koridor al-Qur’an.
                Tentang jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan Islam tidak tumbuh ilmu jiwa sebagai ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa. Nafs dibahas dalam konteks sistem keruhanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan. Karena Al-Qur’an dan juga sunnah banyak menyebut secara langsung term nafs maupun term yang menyebutnya secara tidak langsung seperti qalb, ‘aql, ruh dan bashirah, yang kesemuanya itu baik secara lughawi maupun karena munasabah dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi mengandung banyak arti sehingga para ulama dibuat sibuk untuk menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam prespektif Al-Qur’an dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasawuf.
                Meski nama tasawuf itu sendiri tidak diambil dari Al-Qur’an dan atau Hadist, tetapi esensi dari kajian tasawuf bersumber dari keduanya. Bertasawuf artinya mematikan nafsu kediriannya secara berangsur-angsur untuk menjadi diri yang sebenarnya. Bertasawuf artinya berusaha untuk menempuh perjalanan ruhani mendekatkan diri kepada Tuhan hingga benar-benar merasa dekat dengan-Nya. Tentan bagaimana metode mendekat (taqarrub) kepada-Nya para sufi berpedoman kepada tingkah laku keagamaan Nabi, para sahabat Nabi dan para wali, sehingga dalam bertasawuf faktor matarantai pengubung tradisional dengan asal-usulnya atau rantai keruhanian dalam bentuk guru-murid sangat dipegang teguh.
                Kemajuan zaman juga mempunyai andil dalam kecenderungan kaum Muslimin kepada tasawuf. Dalam kurun waktu 30 tahun setelah hijrah Nabi, kaum Muslimin generasi pertama ini mengalami perubahan yang amat cepat, dari penduduk padang pasir yang miskin dan tak dikenal, berubah menjadi penguasa (imperium) dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dan kekayaan melimpah. Pada masa Umar bin Khattab, wilayah jajahan Romawi di Afrika Utara dan Syam serta imperium Persia telah ditaklukan. Semangat juang yang sangat tinggi dari tentara Islam untuk melakukan ekspansi wilayah ketika itu tak bisa dihindarkan dari adanya semangat menemukan kehidupan dunia yang lebih nyaman, yakni memperoleh harta rampasan perang dan menemukan peluang bisnis di negeri baru, disamping semangat ibadat tentunya. Pada masa Umar bin Khattab semangat bisnis elit politik belum tumbuh karena Umar melarang sahabat-sahabat Nabi hijrah ke negeri baru, tetapi ketika khalifah Usman bin Affan mencabut larangan itu maka berlomba-lombalah para elit sahabat untuk ikut dalam ekspedisi militer dan selanjutnya menetap di negeri yang baru ditaklukan, dan seperti yang sudah banyak ditulis, keluarga Usman (Bani Umayyah) kemudian menguasai jaringan ekonomi nasional ketika itu. Ketika itulah pertarungan antara motivasi duniawi dan motivasi ukhrawi muncul dan berkembang menjadi konflik politik.
                Pada akhir masa Khalifah Usman bin Affan dan masa Ali bin Abi Thalib di kala kekayaan melimpah ruah konflik elit politik mengemuka dengan amat tajam, dan menelan korban yang tidak tanggung-tanggung yaitu Khalifah Usman, Khalifah Ali bin Abi Thalib dan bahkan cucu Nabi sendiri Husain, ketiga terbunuh secara aniaya.
                Meski perubahan datang begitu cepat, tetapi para ulama tidak kehilangan kemampuan untuk merenung, mengambil hikmah dan mencotoh perilaku keagamaan Nabi serta para sahabat-sahabatnya. Kenangan tentang Abu Bakar yang dikenal sangat sederhana, tetapi mampu mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan belum hilang. Demikian juga tentang Umar Khattab yang hidup amat sederhana dengan baju tambalan, meski ia ketika itu menjadi seorang kepala negara baru yang kaya raya, satu bentuk kehidupan yang dalam tasawuf disebut sebagai zuhud, atau meninggalkan kehidupan bendawi di tengah melimpahnya harta benda masih belum hilang dari kenangan masyarakat. Ketinggian akhlak Rasul dalam kehidupan kesehariannya juga masih belum hilang dari kenangan para sahabatnya. Hal inilah yang menjadikan kekecewaan masyarakat atas konflik elit politik (sebagai limbah “modernisasi”) tidak sampai menumpulkan pemahaman para sahabat (ulama) atas ketinggian ajaran Islam. Sebaliknya, semangat memahami Al-Qur’an dengan ta’wil menjadi subur, antara lain melahirkan metode tafsir isyrary yakni memahami realita dengan isyarat-isyarat Al-Qur’an, satu tafsir yang kelak dikenal sebagai corak tafsir tasawuf.
                Bahwa dalam prakter selanjutnya dijumpai penyimpangan-penyimpangan, terutama pada tataran tarekat, adalah hal yang bisa dimaklumi tetapi konsistensi menjadikan syariat agama sebagai koridor membuat perkembangan tasawuf tetap tidak terlepas dari agama Islam, meski tasawuf itu sendiri universal ada pada semua agama.
Tasawuf pada masyarakat modern
                Pada abad 19 ketika dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat sekular, seperti gerakan rasional dan gerakan anti mistik. Tasawuf pernah dituding sebagai biang keladi kemunduran Islam dan dikutuk oleh beberapa kalangan modernis ketika itu. Imam Ghazali dan ihya ulum ad-din-nya cukup lama dihujat sebagai biang keladi kemunduran Islam. Jatuhnya kekuasaan politik dunia Islam ke penjajahan Barat sering kesalahannya dialamatkan kepada tasawuf oleh orang Islam yang kebarat-kebaratan dan bahkan mereka berteori bahwa kajian tasawuf itu sengaja direkayasa oleh pihak kolonialis Barat untuk melemahkan Islam dari dalam. Para Orientalis sangat berperan dalam menanamkan kesan dangkalnya nilai keruhanian dan metafisik ajaran-ajaran Islam kepada kaum terpelajar Muslim yang menimba ilmu di Barat, karena faktor bahasa yakni mereka tidak mampu memahami literatur berbahasa Arab, menjadi sangat tergantung kepada karya orientalis tersebut. Menurut Seyyed Hossein Nasr, pada akhir Perang Dunia II dapat dijumpai dua kelompok mahasiswa di universitas di negeri kaum Muslimin yang mengalami modernisasi sekular, pertama yang anti Islam dan yang kedua Muslim tapi tidak respek kepada syariah Islam dan keduanya menentang tasawuf,( Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism)
                Akan tetapi hal-hal berikut ini;
  1.  Desintegrasi nilai-nilai kebudayaan Barat serta kekecewaan yang dirasakan akibat modernisasi,
  2.  Ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban Barat, dan firasat makin dekatnya ancaman itu.
  3.  bukti adanya ketidakjujuran intelektual Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok tersebut, dan kini mereka justru nampak haus terhadap tasawuf atau sekurang-kurangnya sudah ada sikap baru yang lebih positif terhadap tasawuf.

                Memang peradaban Barat yang telah mencapai puncaknya, di sisi lain juga mencapai semacam titik jenuh dengan sekularisasi yang melampaui batas dan kebebasan yang negatif, suatu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Dari kejenuhan itu akhirnya masyarakat Barat menerima kehadiran dukun-dukun kebatinan dan ahli yoga yang datang ke Barat secara berduyun-duyun membentuk organisasi. Manusia kini secara naluriah merasakan pentingnya meditasi dan kontemplasi, namun sayang hanya sedikit kaum beragama yang secara disiplin menjalankan syariatnya yang otentik sebagai satu-satunya jalan yang mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, yaitu melalui pernungan yang dalam tentang keabadian surgawi. Karena mereka tidak menemukan jalan yang meyakinkan akhirnya mereka lari kepada obat-obat bius, atau pusat-pusat realisasi diri atau guru-guru keruhanian palsu dari Timur, satu hal yang menurut Nasr merupakan bentuk pembalasan dendam yang luarbiasa terhadap Barat atas semua yang dilakukanya terhadap tradisi-tradisi Timur pada masa penjajahan.
                Di sinilah kehadiran tasawuf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlakukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor syariah. Betapapun paket zikir,wirid, sayr dan suluk dalam tarekat lebih bisa “dipahami” oleh orang terpelajar. Relevansi tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf Suluky dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf faslsafy. (Tasawuf suluki lebih menekankan aktifitas yang membimbing kepada tingkah laku mulia seperti memperbanyak ibadat sunnat, pembacaan wirid, sedangkan tasawuf falsafi lebih menekankan kontemplasi. Puncak maqamat tasawuf suluki adalah rida, ma’rifat dan cinta, sedangkan puncak tasawuf falsafi adalah wahdat al-wujud, bersatu dengan tuhan) Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslimin, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu ka’bah, dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju Tuhan yang satu, Allah swt.
               Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat. Telah disebut di muka bahwa bertasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian tasawuf, nafs dipahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseoarang dimana sifat-sifat tercela berkumpul. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga Filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu menggali konsep nafs dan manusia menurut Al-Qur’an dan Hadis.
Read more

Islam: Teologi Pembebasan Sebagai Metode Gerakan Sebuah Refleksi Pemikiran

Sinau Filsafat mencoba membuka tulisan dari diskusi beberapa bulan lalu, dengan tema "Islam: Teologi Pembebasan Sebagai Metode Gerakan Sebuah Refleksi Pemikiran".



Konsepsi tentang Islam dilandasi dengan basis ketauhidan yang dilabelkan sebagai agama samawi atau monoteisme. Ketauhidan merupakan cara pandang untuk melihat seluruh dunia sebagai sistem yang utuh, menyeluruh dan harmonis, yang melampui batas-batas dikotomi, lalu diorientasikan dalam tujuan ilahi yang sama. Murtadha Mutahhari pun menyebutnya sebagai pandangan dunia tauhid. Maka, Islam sebagai agama tauhid perlu kiranya untuk bisa menjawab persoalan-persoalan duniawi (politik, sosial dan ekonomi) sekaligus ketuhanan. Tidak lagi diartikan pada tataran formalitas ritual belaka.
Hassan Hanafi, salah satu tokoh kontemporer yang dikenal dengan Kiri Islamnya, menganjurkan agar Islam menjadi agama yang transformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia. Menurutnya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu penindasan.
Pembebasan kaum tertindas merupakan wujud perjuangan kemanusiaan yang tertinggi dalam Islam. Ia menjadi ukuran nilai kehidupan manusia atau setidaknya usaha menjalani hidup didunia untuk semakin menjadi manusia.
Berbicara tentang Teologi Pembebasan, adalah sebuah paham tentang perananagamadalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain paham ini adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya dan sebagai respon terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah yang baru muncul diakhir abad 20 M. Namun keberadaannya secara esensial, telah ada sejak lahirnya Islam. Sebab, kelahiran Islam untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sistem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, dll).
Istilah teologi pembebasan lahir setelah muncul wacana Marxis sebagai bentuk perjuangan kelas kaum proletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis, namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan berpegang pada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Paham ini lahir (teologi pembebasan) untuk merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syara’i dalam teks nashyang hanya dijadikan sebagai rutinitas agama (sebatas aturan fiqih), bukan menjadi suatu sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang dapat menginspirasi umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar misalnya, selama ini landasan tersebut hanya diimplemtasikan dalam tatanan fiqih (sholat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esesial dari tatanan fiqih tersebut tidak terimplementasikan dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang memaparkan Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan lahir untuk mengambil peran dalam membela kelompok tertindas, baik ketertindasan dalam hal religius atau politik dan penindasan ini dapat terlihat dalam tatanan sosial (strafikasi kelas) dan ekonomi.
Mengacu pada persoalan diatas, maka selayaknya Islam harus mentransformasikan dirinya untuk perubahan sosial. Islam tidak hanya menekan pada formalitas ibadah ritual belaka, tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti keadilan dan kemanusiaanan. Islam juga sebagai ideologi yang revolusioner sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.

Sudah menjadi keharusan Islam menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid) yang menjiwai setiap muslim untuk melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan dengan menjadikan teologi pembebasan sebagai metode gerakannya.
Read more