Showing posts with label Filsuf. Show all posts
Showing posts with label Filsuf. Show all posts

Wednesday, May 16, 2018

Makalah METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE | Sinau Filsafat

                               BAB I                                      

PENDAHULUAN
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE - SINAU FILSAFAT
                                      
1.1 Latar Belakang Masalah 
            Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah seorang filsuf yang terkenal di Perancis. Tulisannya bukan hanya di bidang filsafat murni, tetapi juga dalam bidang seni dan sosial. Ia juga mempengaruhi pemikiran para penulis, seniman, ahli-ahli sosial dan para aktivis politik pada masanya. Sartre lahir di Paris pada 21 Juni 1905 dari sebuah keluarga agamawan. Ayahnya meninggal ketika ia masih berusia satu tahun, ibunya mengajak Sartre tinggal bersama sang kakek, Charles Schmeitzer, yang kemudian sangat memberikan pengaruh yang besar bagi pemikiran Sartre mendatang.
            Pada September 1933, Sartre pergi ke Berlin untuk belajar filsafat Edmund Russerl sang pencetus “fenomenologi”. Setelah mempelajari fenomenologi, ia membuat sebuah esay yang berjudul “ Transendensi Ego”. Baginya, fenomenologi adalah sarana mengungkapkan realitas dan pengalaman kongkret. Kemudian ia menerapkan fenomenologinya dalam psikologi, terutama fantasi dan emosi. Dalam berfilsafat dan berpikir tentang konsep politik Sartre cenderung “berhaluan kiri”. Ia selalu berusaha mengkritisi sistem kapitalisme dan memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Ia menulis “ Percobaan Satu Ontologi Fenomenologis” sebagai kritiknya tasa rasio dialektis ( Bertens, 2006: 91-98).
            Kemudian di tahun 1938 ia menerbitkan sebuah karya novel terkenal yang berjudul Nausea. Karya besar Sartre yang lain adalah Being and Nothingness yang diterbitkan pada 1943. Waktu itu ia menulis karya ini di dalam tahanan. Seperti pada judulnya, salah satu yang menjadi bahasan buku tersebut adalah mengenai ‘Ketiadaan dalam Ada’. Ada dan Ketiadaan adalah tema aktual yang dibicarakan dalam karya-karya Sartre. Menurutnya, Ada terbagi menjadi dua macam, yaitu: l’etre-en-soi  (berada dalam dirinya) dan l’etre-pour-soi (berada untuk dirinya). Kedua macam Ada ini diulas dalam Being and Nothingness sebagai suatu sistem metafisika.
            Menurut Frederick Sontag: “Philosophy, insofar as it is the search for first principles or the basic assumptions implicit in any question, is metaphysics.” (Sontag, 1970:1) Metafisika adalah filsafat pokok yang menelaah ‘prinsip pertama’ (the first principle). Dalam metafisikanya, Sontag juga berpendapat bahwa masalah yang ada merupakan persoalan yang hendak di jawab oleh setiap pemikiran metafisika. Kajian atas persoalan yang-ada mengiringi munculnya persoalan baru, yakni masalah “yang-tiada” (nothingness) (Siswanto, 2004:29). Berdasarkan dua hal diatas, nampak adanya kemiripan dalam pembahasan metafisika Sartre dan problem metafisika Sontag yang perlu dikaji lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
            1.2.1 Bagaimana problem metafisika Frederick Sontag?
            1.2.2 Bagaimana sistem metafisika J.P.Sartre?
            1.2.3 Bagaimana analisis koherensi pemikiran metafisika Sontag dan Sartre?
1.3 Tujuan
            Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah tersebut iatas, dapat dirumuskan tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
            1.3.1 Mengetahui  problem metafisika menurut Frederick Sontag.
            1.3.2 Mengetahui pemikiran sistem metafisika J.P.Sartre.
            1.3.3 Menganalisis koherensi pemikiran metafisika Sontag dan Sartre.



BAB II
PEMBAHASAN
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE

2.1 Problem Metafisika Frederick Sontag 
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang “yang-ada sebagai yang-ada”. Metafisia berasal dari istilah Yunani: ta meta ta physika; artinya “sesudah atau dibelakang realitas fisik”(Siswanto, 2004:2). Aristoteles menyebut metafisika dengan istilah being qua being. Sehingga pengertian metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang-ada sebagai yang ada (Aristoteles). Menurut Anton Bakker metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum.
Orang sering mengkaitkan metafisika dengan sang filsuf besar Aristoteles. Alasannya adalah melalui karya Aristoteles The First Philsophy. Karya Aristoteles ini membahas pengetahuan tentang tujuan segala disiplin. Kemudian Andronikos dari Rodhos menyebut sebagai metafisika. Christian Wolff seorang filsuf yang hidup pada abad ke-17 memberikan nama baru untuk cabang filsafat ini. Istilah yang digunakannya adalah ontology. Menurut Wolf ontology dapat dibagi menjadi dua yaitu: ontology umum dan ontology khusus. Ontology umum membahas being just that-being dengan perspketif yang lebih luas. Serta ontology khusus, yang terdiri dari psikologi rasional, kosmologi, dan teologi natural.
Dalam perkembangannya metafisika mendapat kritik yang tajam. Kritik itu datang dari para filsuf empirisisme yang melandaskan pemikirannya pada yang nampak. Sesuatu yang tak dapat ditangkap indera menurut kaum empirisisme tak dapat dimengerti. Dengan kata lain pengalaman menjadi titik pangkal pengetahuan. Ide-ide yang dibangun kaum rasionalisme tentang metafisika adalah X yang tak dapat dipahami.
Dari tokoh diatas Aristoteles dan Wolff melahirkan pembedaan akan istilah yang digunakan untuk cabang filsafat ini. Pada abad kontemporer orang tidak lagi mempermasalahkannya. Metafisika diberi konotasi baru sebagai cabang filsafat yang menggarap atau menyelidiki prinsip-prinsip pertama (Siswanto, 2004:6).
Sebagai salah satu cabang filsafat metafisika mempunyai objek material dan objek formal. Objek materialnya adalah yang-ada. Yang-ada disini harus pertama-tama ditemukan dalam manusia dan kosmos. Objek formalnya menyelidiki noumenon kenyataan;yaitu semua unsur structural yang berlaku “dimana-mana” dan untuk “apa saja” yang-ada (Siswanto, 2004:8)
Dalam perkembangan metafisika sebagai salah satu cabang filsafat. Metafisik tidak luput dari problem-problem yang harus dihadapi. Terdapat perbedaan pandangan dari para filsuf dalam hal ini. Maka dari itu makalah ini memilih salah satu saja dari para filsuf. Filsuf yang dirasa cukup representantif pandangannya adalah Sontag.
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama, being and nothingness. Secara umum masalah being disetujui oleh para metafisikawan. Karena menjadi tujuan metafisika adalah menggelar gambaran secara umum tentang struktur segala sesuatu atau realitas tertentu. Jika ada “yang-ada” maka ada juga “yang-tiada” (nothingness). Sebab, fakta menunjukkan bahwa tidak semua “yang-ada” itu hadir setiap saat (Siswanto, 2004:16). “yang-tiada” dimaksud disini adalah sesuatu yang mungkin untuk “ada”. Persoalan “yang-ada” melahirkan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan itu menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many).
Kedua, time and necessity masih berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada” hadir dalam masalah time and necessity. Terkait masalah waktu, persoalan paling mendasar adalah bagaimana memahami tatanan hubungan antara masa lampau, masa sekaran dan masa yang akan datang; serta bagaimana kemampuan pikiran mempertimbangkan ketiganya secara simultan (Siswanto, 2004:17). Masalah keniscayaan (necessity) yakni masalah apakah waktu berlaku bagi semua “yang-ada” atau bagi “yang-ada” tertentu saja (Siswanto, 2004:17).
Ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. Kajian atas masalah ini membawa pada implikasi masalah baru, yakni masalah esensi (prinsip internal yang menyusun kualitas tertentu) dan masalah aksidensia (sesuatu yang tidak tetap, eksistensinnya tergantung pada yang lain dan tanpa itu sesuatu tetap dapat eskis) (Siswanto, 2004:17).
Keempat, the first and the last things permasalahan ini ditambahkan oleh Sontag. Permasalahan the first and the last things banyak tidak disetujui oleh filsuf lainnya. Hal ini membahas tentang apakah “yang-ada” itu “yang-pertama” ataukah “yang-terakhir”.
            Kelima, god and freedom ini merupakan permasalahn terkahir yang disebutkan oleh Sontag. Persoalan tentang god and freedom ditempatkan pada bagian terakhir bukan karena paling tidak penting; justru sebaliknya (Siswanto, 2004:18). Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan persoalan keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah kebebasan (Siswanto, 2004:18).
2.2 Sistem Metafisika Jean Paul Sartre
            Jean-Paul Sarte membagi status ontologis yang transenden,  ke dalam dua bentuk  yaitu etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya).
a.      etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya)
            Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak memiliki kesadaran, statusnya sama seperti benda-benda mati seperti batu atau kertas. Dilihat hanya sebagai suatu benda saja. Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri.
            Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga. (Siswanto : 1998). En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
b.      etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya)
            Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu  sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek. etre-en-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi memiliki ciri khas negativitas. Menurut etre-pour-soi, kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia. (Bertens : 1996). Sebagai contoh misalnya terdapat seorang manusia yang sedang berbuat suatu hal, dia sadar bahwa dia sedang melakukan suatu proses peralihan. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, selalu meniadakan dirinya sendiri dan berusaha untuk menjadi diri yang lain.
            Jika dibandingkan kedua cara berada tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.(Bertens : 1996)
·         Pemikiran dalam Ada dan Ketiadaan
            Program yang akan dilaksanakan dalam buku ini ditunjukkan oleh anak judulnya : suatu ontologi dasar fenomenologis. Dengan metode fenomenologi Husserl, Sartre ingin merancangkan suatu ajaran tentang Ada. Itu berarti, bagi Sartre problem pokok adalah hubungan antara kesadaran dan Ada.
·         Dua cara berada: etre-en-soi dan etre-pour-soi
            Titik tolak tidak bisa lain daripada Cogito: kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini, Descrates benar. Tetapi filsuf abad ke-17 ini langsung menafsirkan cogito sebagai suatu cogito tertutup, sebagai cogito yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya. Dari H`usserl dapat kita pelajari bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran adalah transendensi (bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes).
            Menurut Sartre, para fenomenolog dan khususnya Husserl tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang Ada-nya fenomen-fenomen. Soalnya adalah apakah Ada-nya fenomen-fenomen merupakan suatu fenomen juga atau tidak? Menurut Husserl Ada-nya suatu objek tidak berbeda secara prinsipal dengan tampaknya obyek itu; Husserl berhenti pada esensi atau eidos, tetapi dengan itu tidak pernah merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu. Ada itu selalu bersifat transfenomenal.  Apakah yang dapat dikatakan tentang Ada-nya kesadaran? Sudah kita ketahui, kesadaran itu bersifat intensional: menurut kodratnya terarah kepada dunia. Hal itu dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut: kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran-diri. Tetapi kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya: mengambil dirinya sebagai obyek pengenalan. Cogito bukanlah pengenalan-diri, melainkan kehadiran pada dirinya sebagai nontematis. Karena alasan itu kata “akan” oleh Sartre ditulis antara kurung, jadi harus dibedakan kesadaran tematis dan kesadaran nontematis; kesadaran akan sesuatu dan kesadaran (akan) dirinya. Itu berarti bahwa prarefleksif. Kesadaran (akan) dirinya “membonceng”  pada kesadaran akan dunia. Itu berarti bahwa cogito tidak menunjuk kepada sesuatu relasi pengenalan, melainkan kepada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadiran (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran. Kita tidak membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut seperti diterima oleh idealisme.
            Seperti kita lihat, kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (dalam arti: tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Disuatu pihak terdapat kesadaran, dilain pihak terdapat Ada-nya fenomen-fenomen atau Ada begitu saja. (being-in-itself; ada pada dirinya sendiri). Tentang etre-en-soi itu harus dikatakan: “it is what it is”. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja tanpa fondamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain.
            Suatu hal lain yang ditekankan Sartre (dan ini pun diterima oleh semua fenomenolog) ialah bahwa kesadaran sekali-sekali tidak boleh disamakan dengan benda.
            Sartre menggunakan istilah etre-pour-soi (being-for-sel; ada bagi dirinya) untuk menunjukkan kesadaran. Etre-pour-soi bukanlah benda, bisa dikatakan; berarti juga bahwa etre-pour-soi berbeda radikal dengan etre-en-soi; etre-pour-soi mempunya status yang sama sekali berlainan dengan etre-en-soi. Jadi terdapat dua cara berbeda, dua modes of being yang sama sekali berbeda: etre-en-soi dan etre-pour-soi.
            Lebih lanjut kekhususan etre-pour-soi, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan perkataan lain, kesadaran adalah intensional. Perumusan ini dapat dibalik juga: kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa senang, rasa sedih, atau lain sebagainya hanya bisa berada sebagai sadar (akan) dirinya; persis seperti sesuatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan memiliki tiga dimensi, kata Sartre. Kalau saya sadar akan sesuatu, berarti juga bahwa saya bukan “sesuatu”, bahwa saya tidak sama dengan “sesuatu” itu. Saya melihat lukisan di dinding sana tau gelas berisi teh dimeja sini: itu berarti, saya sadar bahwa saya bukanlah lukisan atau gelas. Untuk dapat melihat sesuatu, syarat mutlak ialah adanya jarak. Bila sesuatu dekat sekali dengan mata, apalagi bila sesuatu identik dengan mata (seperti misalnya retina atau selaput jala), maka saya tidak akan melihat apa-apa. Contoh lain lagi: saya sementara mengetik; itu tidak berarti saya sadar akan diri saya sebagai orang mengetik, tetapi serentak juga saya sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga bisa berhenti mengetik dan berjalan jalan atau membaca koran umpamanya. Dari semua ini harus disimpulkan bahwa negatifvitas merupakan ciri khas etre-pour-soi. Manusia sanggup untuk mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Tentang entre-pour-soi  hatus dikatakan “it is not what it is”. Kesadaran berarti distansi, jarak, non-identitas. Bagi Sartre itu berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan.
            Dengan demikian, Sartre dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang banyak memusingkan para filsuf: darimana asalnya ketiadaan? Jawabannya ialah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan etre-pour-soi. Manusia adalah mahkluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour-soi adalah “menindak”.
            Jika kita membandingkan dua cara berada etre-en-soi dan etrepout-soi itu, maka etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi, sedangkan etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu tidak lain daripada “menindak” etre-en-soi. Salah satu keinginan etre-pour-soi adalah berada sebagai etre-en-soi: mempunyai identitas dan kepenuhan ada (seperti:etre-en-soi) dan toh mempertahankan sifatnya sebagai etre-pour-soi. Manusia senantiasa berusaha menjadi Allah, sintesa dari etre-en-soi dan etre-pour-soi. Karena itu pada akhir bukunya Sartre mengatakan bahwa manusia merupakan une passion inutile: suatu gairah yang sia-sia saja.
2.3 Analisis Koherensi Problem Metafisika Sontag dengan Sistem Metafisika Sartre
Persoalan pertama yang diajukan Sontag adalah keterkaitan antara metafisika Sontag dan Sartre yang akan diungkap disini yaitu mencoba menjawab persoalan metafisika yang diajukan oleh Sontag mrnggunakan pemikiran Sartre. Persoalan yang diajukan Sontag adalah mengenai being and nothingness.  Pertanyaan tersebut kemudian menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many). Sartre menjawab persoalan ini dengan karyanya yang berjudul Being and Nothingness. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan pertanyaan. Dalam kehidupannya, manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap realitas dan kemudian akan mendapatkan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Sartre menjelaskan argumen tersebut dengan sebuah cerita ketika ia mencari temannya, Piere, di sebuah cafe yang penuh sesak oleh pengunjung. Satu demi satu ia melihat orang-orang dan memberikan kesimpulan apakan itu Piere yang ia cari atau bukan. Ternyata, setelah mengamati sekian banyak orang, Piere tidak ada disana. Realitas telah menyatakan suatu ketidakhadiran atau ketidakberadaan yang bukan sekedar fakta gramatikal atau subjektif belaka, tetapi nyata. Ada maupun ketiadaan dari realitas, keduanya menjadi alasan bagi tindakan manusia. Misalnya, setelah ia menyadari bahwa Piere tidak ada di cafe itu, maka ia tergerak untuk melanjutkan mencari Piere di tempat lain. Pertanyaan Sontag tersebut menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many). Berdasarkan (Siswanto, 1998: 140) ontologi Sartre didasarkan pada dualisme. Secara fenomenologis, yang ada (being)  dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam diri” (Being in itself – L’etre-en-soi) dan “Ada untuk diri” (Being for itself – L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang ada menurut Sartre itu jamak (the many).
Persoalan kedua mengenai time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre, berada-bagi-dirinya-sendiri dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan. Masa lalu memang memiliki faktisitas, yaitu fakta-fakta tertentu yang tidak dapat diubah (takdir). Tidak ada suatu hal pun di masa lalu yang menyebabkan perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre, kebanyakan orang mendapat pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan sebuah tindakan. Misalnya kita memiliki sebuah pengalaman buruk dan tidak ingin peristiwa lalu itu terjadi kembali, maka kita dianggap telah ‘putus’ dari masa lalu. Putusnya diri kita sekarang dengan masa lalu memunculkan sebuah “ketiadaan”.
Persoalan ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Menurut Siswanto (1998: 140), L’etre-en-soi disebut “ada yang tidak berkesadaran”, merupakan adanya benda-benda yang berada begitu saja (it is what it is). Ia timbul secara kebetulan tanpa memerlukan keterangan-keterangan lain. Dapat pula dikatakan bahwa L’etre-en-soi tidak dipengaruhi atau bersentuhan dengan aksidensi.
Raymond dalam Siswanto (1998: 140) menyebutkan bahwa L’etre-pour-soi atau “ada untuk diri” menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia yang sifatnya melebar dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran yang berada diluar diri sesuatu atau seseorang. Selanjutnya kesadaran memunculkan subjek dan objek. Subjek kemudian menjadi “pengada yang sadar” dan objek sebagai dirinya sendiri yang disadari. Hal ini menunjukkan bahwa L’etre-pour-soi melakukan aktivitas menjadikan diri sebagai subjek dan objek yang berperan sebagai aksidensia.
Keempat, the first and the last things. Setiap keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah suatu usaha untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha perorangan adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari berada-di-dalam-dunia. Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek ‘mendasar’ atau ‘awal’. Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai the first. Meskipun terdapat anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya terdapat pada benda dan hewan namun sekiranya juga terdapat pada manusia, bukankah manusia juga memiliki sifat kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal dan vegetatif. Setelah berada-dalam-diri kemudian manusia menuju pada (le etre pour soi) atau berada untuk diri sebagai the last things. Etre pour soi yang terakhir ini hanya ada pada manusia yang kemudian sadar akan eksistensinya.
Persoalan terakhir mengenai god and freedom,  merupakan permasalahn terkahir yang disebutkan oleh Sontag. Menurut Sartre, manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh diri saya sendiri. Menurut K.Bertens (2001:100) Sartre mengungkapkan bahwa manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri. Konsep tersebutlah yang menjadi alasan ateisme Sartre. Seandainya Allah ada tidak mungkin dirinya bebas. Allah itu mahatahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum manusia melakukan suatu hal dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Jika demikian, tiada peluang lagi bagi kreatifitas kebebasan. Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.




BAB III
KESIMPULAN
 
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama, being and nothingness. Kedua, time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada” hadir dalam masalah time and necessity. Ketiga, substance and accidents yang mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara substansi dan aksidensia. Keempat, the first and the last things. Hal ini membahas tentang apakah “yang-ada” itu “yang-pertama” ataukah “yang-terakhir”. Kelima, god and freedom. Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan persoalan keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah kebebasan.
Sedangkan Jean-Paul Sarte membagi status ontologis yang transenden,  ke dalam dua bentuk  yaitu etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya). Etre-en-soi adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak memiliki kesadaran statusnya sama seperti benda-benda mati. Etre-pour-soi adalah sesuatu yang sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya. Etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.
Persoalan yang diajukan Sontag adalah mengenai being and nothingness. Sartre menjawab persoalan ini dengan karyanya yang berjudul Being and Nothingness yang menjelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan pertanyaan. Secara fenomenologis, yang ada (being)  dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam diri” (Being in itself – L’etre-en-soi) dan “Ada untuk diri” (Being for itself – L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang ada menurut Sartre itu jamak (the many). Persoalan kedua mengenai time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre, berada-bagi-dirinya-sendiri dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan. Tidak ada suatu hal pun di masa lalu yang menyebabkan perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre, kebanyakan orang mendapat pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan sebuah tindakan. Persoalan ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Keempat, the first and the last things. Setiap keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah suatu usaha untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha perorangan adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari berada-di-dalam-dunia. Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek ‘mendasar’ atau ‘awal’. Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai the first. Meskipun terdapat anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya terdapat pada benda dan hewan namun sekiranya juga terdapat pada manusia, bukankah manusia juga memiliki sifat kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal dan vegetatif. Persoalan terakhir mengenai god and freedom. Menurut Sartre, manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh diri saya sendiri. Manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri.




Daftar Pustaka
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis. PT. Gramedia: Jakarta.
_________. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. PT. Gramedia Pustaka Utama:     Jakarta.
           
Palmer, Donald. 2003. Sartre Untuk Pemula diterjemahkan oleh B. Dwianta Edi Prakosa dan      Stepanus Wakidi. Kanisius: Yogyakarta.
Siswanto, Joko. 1998. Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai     Derrida.          Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
____________. 2004. Metafisika Sistematik. Taman Pustaka Kristen: Yogyakarta.
Sontag, Frederick. 1970. Problems of  Metaphysics. Chandler Publishing Company: USA.


Read more

Wednesday, October 11, 2017

Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

            Kali ini Sinau Filsafat akan membahas Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa, setidaknya, dua aspek dari “kehendak untuk berkuasa” yang paling terkenal, yaitu sebagai kekuatan alamiah dan sebagai pengetahuan. 


Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat
Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

Mari kita mulai dari yang pertama. Dalam bab Principles of a New Evaluation, Nietzsche menggambarkan kehendak untuk berkuasa sebagai: “the primitive form of affect, that all other affects are only developments of it […] there is a striving for power, for an increase of power.”[1] Kehendak untuk berkuasa adalah daya dorong azali. Banyak hal yag dihasilkan oleh kehendak untuk berkuasa ini, tetapi semua itu hanyalah residu atau ekses sampingan, kehendak untuk berkuasa sendiri hanya bergolak untuk kekuasaan, untuk pencapaian lebih dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan bagi Nietzsche, hidup itu sendiri juga hanyalah suatu kasus khusus dari kehendak untuk berkuasa[2]. Ia menyebut kehendak untuk berkuasa ini sebagai “the innermost essence of being”[3]; “The world is will to power—and nothing besides! And you yourselvees are also this will to power—and nothing besides!”[4] Untuk lebih memahami kehendak untuk berkuasa, kita akan masuk ke dalam aspek yang kedua: sebagai pengetahuan.
            Pengetahuan pada dasarnya merupakan manifestasi kehendak untuk berkuasa. “Pengetahuan bekerja sebagai alat dari kekuasaan”,  tulis Nietzsche. Esensi keputusan (the believe that something is thus and thus), skematisasi dan seluruh klaim kebenaran sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa. Kita ingin menguasai alam ini, oleh karena itu kita ciptakan ilmu ukur, konsep baik-buruk dan sebagainya. “Kehendak untuk kebenaran”, bagi Nietzsche, merupakan salah satu bentuk dari kehendask untuk berkuasa. Maka ia berkata bahwa kriteria kebenaran adalah seberapa besar ia meningkatkan perasaan kekuasaan[5]. Hanya saja kata “kuasa” di sini jangan melulu dimengerti dalam arti yang politis, ia lebih luas ketimbang itu.
            Konsepsinya mengenai kehendak untuk berkuasa sebenarnya terkait dengan upaya Nietzsche untuk melakukan revaluasi atas seluruh nilai. Mereka yang mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti mengafirmasi pula seluruh gejolak alam-semesta ini, hal ini juga berarti bahwa mereka berkata “Ya” terhadap hidup. Oleh karena itu, kita bisa mengerti revaluasi Nietzsche atas “baik” dan “buruk” seperti yang ia tulis dalam Der Antichrist:

What is good?—All that heightens the feeling of power, the will to power, power itself in man.
What is bad?—All that proceeds from weakness.
What is happines?—The feeling that power increases—that a resistance is overcome.[6]

Mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti terus-menerus mengalami pelampauan kehendak, menjadi liar, mabuk-total seperti sehabis pulang dari “simposium” (pesta minum minuman keras) Dionysius. Itulah kehendak untuk berkuasa, “the unexhausted, procreating life-will”[7]. Afirmasi atas kehendak untuk berkuasa menunjukkan penghormatan manusia atas hidup, bukan penyangkalan atas hidup seperti yang dilakukan oleh para penganut agama. Dengan begitu manusia menerima seluruhnya absurditas kehidupan, seluruh gejolak chaotic alam raya, tanpa mengharapkan surga. Itulah figur seorang Übermensch (“Overman”)[8] seperti yang diwartakan oleh Zarathustra: “I teach you Superman. Man is something that is to be surpassed. […] The Superman is the meaning of the earth.”[9] Itulah Übermensch, ia yang berani berkata “Ya” pada gejolak kehendak untuk berkuasa, pada absurditas hidup.
            Lalu jika hidup ini absurd dan surga, apapun itu, tak ada, akan kemanakah kita? Dengan pertanyaan ini, kita masuk ke ajaran Nietzsche yang lain: eternal return of the same.



[1] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 366.
[2] Ibid. hlm. 369.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hlm. 550.
[5] Ibid. hlm. 290.
[6] Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
[7] Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
[8] Dalam bahasa Inggris, istilah Übermensch memiliki dua terjemahan, yaitu “Overman” dan “Superman”.
[9] Ibid. hl. 67-68.
Read more

Friday, October 6, 2017

METAFISIKA FILSAFAT | NIETZSCHE : SANG NABI NIHILISME

NIETZSCHE: SANG NABI NIHILISME adalah runtutan tulisan dari tema Metafisika Filsafat. Untuk itu, silahkan untuk membaca postingan sebelumnya [ PENGANTAR METAFISIKA DALAM FILSAFAT ] agar pemahaman anda tentang nihilisme dalam metafisika lebih komprehensif.




Nihilisme

Barangkali kita dapat menangkap semangat nihilisme Nietzschean dengan melihat sebagian dari aforisme yang terkenal dalam bukunya, Die fröchliche Wissenschaft (Ilmu yang Ceria):


The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: “I seek God! I seek God!”—As many of those who did not believe in God were standing around just then, he provoked to much laughter. Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage? Emigrated?—Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is God?” he cried; “I will tell you. We have killed him—you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving? Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing? Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder? Is not night continually closing in on us? Do we not need to light lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God remains dead. And we have killed him.


Memang bombastis kedengarannya. Namun kita tak menemukan definisi tentang nihilisme di kutipan tersbut—bahkan kita tak menemukan kata nihilism di sana—selain seruan yang keras tentang “matinya Tuhan”.

Kata “Tuhan” dalam konteks Nietzschean tidak hanya merujuk pada artian “Tuhan” secara harafiah saja, yaitu Tuhan sebagai suatu entitas yang transenden. “Tuhan” juga berarti suatu titik teguh yang absolut dan niscaya tempat kita menambatkan diri kita sepenuhnya. Itulah dia. Itulah kebenaran. Tepat di sinilah nihilisme itu mengejawantah: kebenaran telah mati.


Istilah “nihilisme” memiliki akar katanya dalam bahasa Latin, yaitu nihil yang artinya “tiada”, “nothing”. Lewat ajarannya tentang nihilisme, Nietzsche langsung menggoyang pondasi tunggal dari seluruh realitas: kebenaran. Lebih persisnya, ia mempertanyakan secara radikal validitas klaim kebenaran. Kita akan kembali membahas tentang nihilisme dan aforisme panjang itu setelah merenung terlebih dahulu mengenai kebenaran.

Apa itu “kebenaran”? 

Truth is the kind of error without which a certain species of life could not live, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, “The value for life is ultimately decisive.” “Nilai” (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilai—tetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam Jenseits von Gut und Böse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:

[…] and it is high time to replace the Kantian question, “How are synthetic judgements a priori possible?” by another question, “Why is belief in such judgements necessary?”—and to comprehend that such judgements must be believed to be true, for the sake of the preservation of creatures like ourselves […]

Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu “kepercayaan” (belief). Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu “must be believed to be true”; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah “for the sake of the preservation of creatures like ourselves”.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya, “keputusan” (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah kepercayaan kita yang tertua, “our most habitual holding-true or holding-untrue, an assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that here we really “know” […]”. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Böse, ia menulis:

[…] that without accepting the fictions of logic, without measuring reality against the purely invented world of the unconditional and self-identical, without a constant falsification of the world by means of numbers, man could not live […]


Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal. 


Kita percaya pada logika berpikir yang “sah”: bahwa jika orang mengatakan, “Tak ada kebenaran!”, maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia. Lantas untuk apa manusia menciptakan “fiksi-fiksi” itu? Jawabannya jelas: “For the sake of the preservation of creatures like ourselves”, to maintain “the condition of life”, singkatnya, “holding-to-be-true”. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:

[…] what was at stake in all philosophizing hitherto was not at all “truth” but something else—lut us say, health, future, growth, power, life.

Lantas, dalam hal apakah “truth” sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der Wille zur Macht: “Not “to know” but to schematize—to impose upon chaos as much regularity and form as our practical needs require.” Klaim kebenaran bekerja dengan menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan. Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini—tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself. Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas “kebenaran” dalam tataran yang lebih kasat mata, yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap ketidakpercayaan-atas-hidup. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya atas kebenaran: “I understand by “morality” a system of evaluations that partially coincides with the condition of a creature’s life.” Moralitas adalah bentuk nyata dari klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu. Perbuatan seperti membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral. Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu “extra-moral”? Untuk memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:

Formerly one said of every morality: “By their fruits ye shall know them.” I say of every morality: “It is a fruit by which I recognize the soil from which it sprang.”

Dalam aforisme itu, Nietzsche sebenarnya berbicara tentang fenomena extra-moral. Orang pada umumnya melihat moralitas dari buah yang dihasilkan moralitas itu (misalnya perbuatan etis). Namun Nietzsche melihat sebaliknya: moralitas merupakan buah dimana kita bisa menyadari dari tanah macam manakah buah itu muncul. Bisa kita duga, “tanah” (soil) yang dimaksud oleh Nietzsche adalah masyarakat. Di sinilah kita dapat melihat analisa—dan juga kritik tajam—Nietzsche atas masyarakat Kristiani-Eropa.
Masyarakat Eropa yang Kristiani, bagi Nietzsche, telah menjadi masyarakat yang dekaden. “Apa yang ditolak oleh Kristus? Semua yang kini disebut Kristiani.” Dekadensi yang meresapi peradaban Eropa disebabkan oleh “paradigma berpikir Platonis”. Paradigma ini membuat manusia Eropa menghasrati pembebasan setelah kematian, semacam dunia Idea nya Plato, dan dengan itu menampik kehidupan itu sendiri. Maka itu, Nietzsche menyebut agama Kristiani sebagai “la religion de la souffrance humaine” (the religion of human suffering). Agama Kristiani mengajarkan manusia untuk menegasi dirinya sendiri, menyangkal eksistensinya di dunia, meredam gejolak manusiawinya. Semua itu dilakukan demi imbalan surga yang abadi dan final. Kritik Nietzsche atas Kristianitas “cukup” keras:

From the start, the Christian faith is a sacrifice: a sacrifice of all freedom, all pride, all self-confidence of the spirit; at the same time, enslavement and self-mockery, self-mutilation.

Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah “moralitas budak”. 

Moralitas ini adalah moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula “moralitas kawanan”. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang aman. Nietzsche sendiri menulis, “Entry into real life—one rescues one’s personal life rom death by living a common life”. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani hidup dalam kerumunan. “[…] the whole morality of self-denial must be questioned mercilessly and taken to court […]” There is too much charm and sugar in these feeling of “for others,” “not for myself,” […]”. Oleh karena itu dalam suatu adegan singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:

O my brethren, is not everything at present in flux? Have not all raillings and gangways fallen into the water? Who would still hold on to “good” and “evil”?


Sekarang kita akan beralih menuju pandangan Nietzsche mengenai atheisme. 


Baginya, seperti ia tulis dalam Der Antichrist  (Sang Anti-Kristus), kepercayaan akan Tuhan tak hanya merupakan suatu kesalahan namun juga suatu “pengkhianatan atas hidup”. Kita menganggap Tuhan memang sungguh ada, namun kita tak sadar bahwa kita, nun dahulu kala, telah menciptakan-“Nya” dari ketidaktahuan kita. Begitulah kira-kira yang dimaksud oleh Nietzsche ketika ia menulis dalam Beyond Good and Evil: “circulus vitiosus deus”. “Lingkaran setan lah yang menciptakan Tuhan”. Nampaknya term “lingkaran setan” (vicious circle) di sini dapat diartikan sebagai “lingkaran setan logika”, yaitu hubungan antar konsep yang jalin-jemalin sehingga membentuk lingkaran penuh yang tanpa jalan keluar; circulus in definiendo. Contoh yang jelas adalah pertanyaan ini: “Manakah yang lebih dulu ada, telur atau ayam?”. Pertanyaan semacam itu hanya akan bergerak melingkar-lingkar saja tanpa jalan keluar, kecuali jika kita menghadirkan semacam deus ex machina sebagai entitas ketiga yang melampaui keduanya. Dan persis di sinilah, Tuhan dihadirkan. Maka Tuhan tercipta justru dari lingkaran setan, dari ketidaktahuan kita. Selain itu, Tuhan membuat manusia menyangkal dirinya, sebagaimana Nietzsche menulis dalam Ecce Homo (Lihatlah Manusia): “[…] what has been the greatest objection to existence so far? God.” Penerimaan akan adanya Tuhan dan moralitas Kristiani sebetulnya hanya merupakan kedok ketakutan manusia. Hal-hal itu membuat manusia merasa memiliki legitimasi yang sah di atas bumi (sebagai homo imago Dei), yang dalam kenyataannya merupakan makhluk kecil yang tak berarti, sebuah aksiden selintas di tengah gelombang “kemenjadian” dan arus buas dari jagad raya yang chaotic ini.

In summa: kebenaran adalah nilai yang berguna untuk melestarikan kehidupan manusia. 

Moralitas, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran sosial, adalah ciptaan manusia, atau lebih persisnya dalam konteks Eropa, adalah ciptaan orang-orang lemah (budak) yang hanya berani hidup dalam kerumunan. Masyarakat Eropa yang diresapi moralitas budak atau kawanan mau tak mau akan segera terjatuh dalam dekadensi. Tuhan, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran spiritual, adalah konsep kosong hasil ciptaan manusia yang lemah, yang lari dari kenyataan hidupnya, yang tak bisa lagi berpikir. Semua ini adalah gejala, tanda-tanda lahirnya suatu zaman yang muram: the age of nihilism.

Term “nihilisme” dalam pemikiran Nietzsche setidaknya memiliki dua arti: nihilisme sebagai kondisi dan sebagai laku. Sebagai kondisi, nihilisme merupakan sebuah keniscayaan historis. Sebagaimana ditulis oleh Nietzsche dalam Der Wille zur Macht:


What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid to reflect. […] For why has the advent of nihilisme become necessary? Because the values we have had hitherto thus draw their final consequence; because nihilism represents the ultimate logical conclusion of our great values and ideals—because we must experience nihilism beferoe we can find out what value of these “values” really had.

Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya.

Nihilisme terlahir dari kesalahan manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak, kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu, Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: “What does nihilism mean? That the highest values devaluate themselves. The aim is lacking; “why?” finds no answer.” Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh. Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan, tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.

Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap: 

“[1] when we have sought a “meaning “ in all events that is not there […] being ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him; i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.” Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-gemborkan perlunya suatu upaya “revaluasi semua nilai” (Umwertung aller Werte), sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.

Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita kutip tadi. 

“Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!”. Lalu: “bagaimana jika bumi ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur? Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hari—seakan-akan kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka…” Nietzsche bersorak: “Everything is false! Everything is permitted!”. Nihilisme membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar. Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragödia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term “nihilisme”, yaitu sebagai laku. Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan “nihilisme” sebagai suatu “sikap” dalam menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Jika dalam menghadapi kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk “melampaui nihilisme” (Überwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku ini mengatakan “Ya” pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh “kekacauan” (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi “manusia tragis”. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam Die Geburt der Tragödie, ia menulis: “Knowledge kills action; action requires the veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet.” Sikap tragis hanya muncul karena ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan, melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir. Dalam Götzen-Dämmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: “To live—that means to be a long time sick: I owe a cock to the saviour Asclepius.” Nietzsche melihat dalam kata-kata Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata “Ya”, mengafirmasi, menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang berani dipeluk oleh kesepian.

Berkata “Ya” pada hidup, mengafirmasi hidup, menerima sepenuhnya seluruh gejolak alam yang “chaotic”, maka kita akan sampai pada ajaran Nietzsche yang terkenal: kehendak untuk berkuasa.



Friedrich Nietzsche, The Will to Power diterjemahkan oleh RJ Hollingdale (New York: Vintage Books), 1968, hlm. 272.
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random House), 1994, hlm. 181.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: The Modern Library), 2000, hlm. 209
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 288.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka Para Filsuf)
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan argumentasinya tentang pengetahuan sebagai skematisasi (sebuah upaya penundukkan).
Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche, op.cit. hlm. 212. Dalam sebuah surat kepada kawannya, Franz Overbeck tanggal 8 Januari 1887, Nietzsche menuliskan bahwa Kristianitas dan dekadensi masyarakat Eropa merupakan kesalahan Plato: “And it is all Plato’s fault! He is still Europe’s greatest misfortune!”. Lih. Friedrich Nietzsche, Selected Letters of Friedrich Nietzsche diterjemahkan oleh Christopher Middleton (Indianapolis: Hackett Publishing Company), 1996. hlm. 258

Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 220.

Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra diterjemahkan oleh Thomas Common (London: George Allen & Unwin Ltd), 1967, hlm. 246.

Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan), gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming). Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.


Read more